Polisi Tembak Polisi
Ferdy Sambo Tak Dihukum? Ahli Sebut Pemberi Perintah Bisa Bebas dan Beda Kata Hajar dengan Tembak
Said Karim, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Hasanuddin membeberkan analisanya terkait kasus pembunuhan berencana Brigadir J, Selasa (3/1/2023).
Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Said Karim, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Hasanuddin dihadirkan dalam sidang lanjutan kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari ini, Selasa (03/1/2023).
Dilansir TribunWow.com, dalam penuturannya, Said Karim menjelaskan bahwa seorang pemberi perintah, dalam hal ini Ferdy Sambo, tidak bisa dipidanakan.
Ia juga menyinggung perbedaan kata 'hajar' yang diklaim diucapkan Ferdy Sambo dan kata 'tembak' yang didengar Richard Eliezer alias Bharada E.
Baca juga: Sebut Aneh, Ini Kata Kompolnas hingga Mahfud MD soal Gugatan Ferdy Sambo ke Jokowi dan Kapolri
Ketika itu, Said Karim ditanya oleh pengacara Ferdy Sambo, Febri Diansyah mengenai adanya miss interpretasi antara pihak pemerintah dan yang diperintah.
Di mana penganjur mengatakan 'hajar', tetapi yang dilakukan justru penembakan yang mengakibatkan kematian.
"Dalam situasi penganjur menganjurkan untuk melakukan sesuatu perbuatan, katakanlah dia menganjurkan untuk memukul ya. Tapi ternyata kemudian karena yang bersangkutan yang disuruh itu, pelaku peserta, memiliki senjata api, dia tidak memukul malah langsung dia tembak," ujar Said dikutip Tribunnews.com, Selasa (3/1/2023).
"Biasanya kan orang menembak berkualifikasi mulai dari kaki. Dia (tidak) akan menembak langsung ke daerah yang mematikan."
"Tapi dia langsung menembak pada bagian yang sangat berbahaya bagi kehidupan umat manusia, mungkin daerah perut atau jantung dan memang sasaran mematikan," tambahnya.

Baca juga: Romo Magnis Ungkap 2 Faktor yang Ringankan Hukuman Bharada E, Sebut Ferdy Sambo hingga Waktu Insiden
Jika hal ini yang terjadi, maka Said menilai konsekuensi hukum seharusnya dijatuhkan pada penembak dan bukannya pemberi perintah.
Pasalnya, ada indikasi penyalah artian perintah yang berbeda dengan maksud penganjur.
"Jadi dalam hal yang seperti ini menurut pengetahuan hukum yang saya pahami, penganjur tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap pidana terhadap perbuatan yang tidak dia anjurkan, tidak bisa," ujar Said.
"Jadi kalau toh misalnya pelaku peserta melakukan itu dia salah tafsir atau melampaui batas yang dianjurkan maka kalau ada akibat yang muncul atau risiko hukum yang muncul itu adalah tanggungjawab orang sebagai pelaku peserta yang melakukannya yang menerima anjuran tersebut."
Sebagaimana diketahui, Ferdy Sambo mengaku hanya meminta Bharada E untuk menghajar Brigadir J.
Namun, Bharada E justru menembak rekannya tersebut di bagian dada hingga tersungkur.
Sementara, Bharada E tegas mengatakan Ferdy Sambo menyuruhnya melakukan pembunuhan kemudian memintanya segera menembak.
Bahkan, setelah Brigadir J jatuh tersungkur, Ferdy Sambo ikut menembak ajudannya tersebut di bagian kepala hingga menyebabkan kematian.
Menurut Said, ada perbedaan mendasar antara kata hajar dan tembak.
Sehingga dua kata tersebut tak bisa diartikan sama secara kontekstual.
"Saya membuka KBBI, apakah kata hajar ini sinonim dengan bunuh atau tembak, tampaknya dalam KBBI kita tidak menemukan jawaban itu. Jadi pengertian hajar ini relatif dimaknai, kita juga kadang-kadang kumpul dengan teman SMA ada makanan biasa kita bilang hajar, makanan pun kita suruh hajar," terang Said dikutip Tribunnews.com.
"Jadi apakah makna pengertian kata hajar itu sinonim atau sama dengan tembak atau bunuh, tidak ada jaminan bahwa pengertian itu benar."
Menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Said menegaskan bahwa kata hajar dan tembak tidak bisa disamaartikan.
Meskipun, sebelumnya sudah ada permufakatan atau permintaan untuk melakukan pembunuhan.
Alih-alih, Said kemudian menyoroti bahwa terkait perintah pembunuhan maupun penembakan hanya bersumber dari kesaksian Bharada E seorang.
"Tadi saya sudah jelaskan bahwa pengertian hajar tidak berarti sama dengan tembak, kita sepakati sampai disitu ya, selanjutnya apa yang bapak kemukakan itu sebagai bersumber dari satu keterangan saksi yang menyatakan itu bapak hati-hati dengan keterangan itu," tandasnya.
Baca juga: Bharada E Dituding Salah Terjemahkan Perintah Ferdy Sambo, sang Pengacara: Kenapa Dijanjikan Uang?
Orang yang Menyuruh Membunuh Harus Dihukum
Sebelumnya, Ahli Pidana dari Universitas Andalas, Elwi Danil menerangkan perbedaan prinsip pidana yang dapat diterapkan dalam kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Dilansir TribunWow.com, Elwi Danil menyatakan bahwa ada dua jenis kriteria mengenai pelaku dan kaki tangan di mata hukum pidana.
Di mana pelaku yang memerintahkan pembunuhan, dalam hal ini diduga sebagai terdakwa Ferdy Sambo, menjadi orang yang bertanggung jawab dan patut dihukum.
Baca juga: Romo Magnis Ungkap 2 Faktor yang Ringankan Hukuman Bharada E, Sebut Ferdy Sambo hingga Waktu Insiden
Sementara pelaku yang hanya diperintah, dalam hal ini Richard Eliezer alias Bharada E tidak bisa dimintai pertanggung jawaban.
Ironisnya, fakta hukum pidana ini disampaikan Elwi Danil saat hadir sebagai saksi ahli dari kubu Ferdy Sambo dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (27/12/2022).
Menjawab pertanyaan pengacara Ferdy Sambo, Elwi Danil menjelaskan perbedaan antara prinsip penyertaan Doenpleger dan Uitlokking.
Di mana Doenpleger adalah adanya pelaku intelektual yang memerintahkan tindakan pidana.
"Kedua jenis penyertaan ini menempatkan adanya dua orang, di dalam Doenpleger adalah orang yang menyuruh melakukan dan orang yang disuruh melakukan," terang Elwi Danil dikutip kanal YouTube KOMPASTV.

Baca juga: Jelaskan Peran Ferdy Sambo hingga Bharada E, Ahli: Pasti Ada Aktor Intelektualnya, Pembuat Skenario
Sementara pada Uitlokking, seorang pelaku menggerakkan orang untuk melakukan tindak pidana.
Misalnya seperti pencucian otak dalam aksi terorisme atau pembunuh bayaran yang melakukan pidana dengan motivasi uang.
"Sedangkan dalam Uitlokking adalah orang yang menggerakkan untuk melakukan dan digerakkan untuk melakukan."
Menurut Elwi Danil, seorang pelaku yang terpaksa melanggar pidana karena diperintah tak bisa dikenai hukuman.
Alih-alih, pelaku yang memerintahlah yang harus bertanggung jawab atas tindak pidana tersebut.
"Kalau dalam Doenpleger, orang yang disuruh melakukan, tidak bisa dimintakan pertanggung jawaban pidana," beber Elwi Danil.
"Dia hanya semata-mata berkedudukan sebagai instrumen atau alat dari pelaku intelektual. Dan orang yang disuruh melakukan itu tidak bisa dipidana."
"Sedangkan yang dipidana adalah orang yang menyuruh melakukan," tegasnya.
Hal ini berbanding terbalik dengan Uitlokking di mana kedua pelaku, baik aktor intelektual maupun eksekutor dapat sama-sama dihukum.
"Berbeda dengan itu, dalam Uitlokking, dua-duanya bisa dihukum atau dipidana, baik orang yang menggerakkan ataupun yang digerakkan," tandasnya.(TribunWow.com/Via)