Guru Segala Cuaca Anak-anak di Pedalaman Papua, Bukan Sekadar Mata Pelajaran Semata
Kisah perjuangan guru di pedalaman Papua, tepatnya di Kabupaten Maapi, Papua Selatan yang berjuang mendidik anak pedalaman Papua.
Penulis: Adi Manggala Saputro
Editor: adisaputro
“Kelas kecil itu yang belum bisa membaca kelas besar itu yang sudah bisa membaca sama menulis. Ya kita SD Sekolah Dasar, terus ini usia-usia saat itu juga sudah sangat tua-tua. Jadi di atas 12 tahun, usia-usia yang harusnya sudah SMP saat itu, mungkin ada yang sudah SMK harusnya,” jelasnya.
Lebih lanjut, saat masyarakat Kampung Masin tahu Lukman akan pindah, mereka tak kuasa menahan rasa sedih.
“Apalagi saat saya harus pindah, karena terima SK itu semua kampung itu menangis menahan saya untuk bertahan tapi kan secara SK saya sudah tidak boleh di situ. Jadi mau tidak mau harus pergi, harus pindah begitu,” ucapnya sembari mengenang masa perpisahan nan menyedihkan itu.
Kesabaran dan Usaha Keras jadi Kunci
Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia itu membeberkan betapa sulitnya akses komunikasi pada saat itu.
Jaringan yang belum ada membuat mau tidak mau, Lukman menggantungkan handphone jadulnya di atas pohon selama 24 jam
“Jaringan internet juga belum ada di SD itu, dulu kita komunikasinya pakai HP ini, HP jadul itu Nokia jadul digantung di tempat di pohon. Di pohon terus di tempatnya, digantung terus HP itu, kita letakkan di tempat yang tinggi dapat sinyal terus kita gantung saja. Jadi kita 24 jam HP di situ saja. Karena kadang ada yang hubungi minta telpon, SMS, jadi HP itu diam di tempat terus saat itu,” ungkapnya.
Selain tak adanya jaringan, fasilitas lain seperti listrik dan air pun saat itu di Distrik Venaha belum tersedia.
“Pindah ke tempat kedua itu lebih parah lagi, lebih parah karena kita dari tempat tugas lama pindah ke sini luar biasa bawa barang bawa ini harus pakai kapal, harus pakai perahu, itu juga harus beli beras sangat banyak karena sangat jauh. Datang ke tempat sini ternyata belum ada listrik jaringan juga belum ada. Lebih parah, listrik tidak ada jaringan tidak ada, jadi kita pakai pelita. Kalau kelayakan sekolah, ya karena sekolah lama sudah ada memang, administrasi juga lengkap, istilahnya ada guru-guru, cuman aksesnya,” bebernya.
Belum adanya air membuat Lukman memanfaatkan air hujan sebagai penggantinya.
“Terus kita juga karena airnya cukup jauh. Tiap hari timba air pakai dirigen minyak goreng. Hujan ada kita langsung semangat tampung-tampung air untuk mandi, untuk minum, untuk kita gunakan. Sampai sekarang kita gunakan air hujan juga,” imbuhnya.
Untuk di tempat sebelumnya, selain fasilitas sekolah yang kurang memadai, tempat tinggal Lukman saat itu juga memprihatinkan.
“Dulu juga saat awal mula tugas di tempat tugas pertama di tengah masyarakat itu perumahan dengan ukuran tiga meteran lah, itu pakai rumah panggung. Jadi kadang rusak bocor itu sudah biasa kayak hidup dibilang menderita ya kita sudah nikmati. Ya pokoknya kita sabar saja saat itu, saat itu. Akhirnya mendapatkan perumahan guru ini, tapi itu lokasinya berada di tengah-tengah hutan besar, itu pun kita babat hutan, itu pohon-pohon besar kita babat pakai kampak,” kenang Lukman.
Selain fasilitas, kendala yang dirasakan Lukman juga berkaitan dengan kemampuan para siswa-siswinya.
Di mana, banyaknya kekurangan saat pembelajaran di SD membuat materi yang seharusnya anak SMP dapatkan sulit direalisasikan kepada anak-anak di pedalaman Papua.
“Proses pembelajaran sangat di SD karena itu kan tidak ada sekolah, karena kita berhenti jumpa itu anak-anak itu belum ada yang bisa membaca, menulis juga tidak ada jadi kita belajar baca tulis itu kita dari nol betul. Jadi kita tidak bisa mengajar mata pelajar Bahasa Indonesia, mengajar Bahasa Indonesia dengan seutuhnya, tidak. Pasti kita baca, tulis, hitung dulu nanti kita kategorikan, ini anak-anak yang belum bisa menulis, belum bisa baca, kita bikin kelas khusus,” jelas pria kelahiran Tegal tersebut.
Selain karena kemampuan dasar anak-anak pedalaman Papua yang belum mampu membaca dan menulis meski sudah SMP, Lukman juga bercerita tentang siswa-siswinya yang hamper di setiap pertemuan berbeda orang.
“Jadi gini, yang membuat saya bingung di sini kan kadang, misalnya pertemuan pertama 10 anak, misalnya materi sudah disampaikan. Pertemuan kedua, 10 anak juga tapi dengan anak yang berbeda. Jadi kita mau melanjutkan materi atau mengulang materi? Kan begitu, istilahnya begitu. Ini yang menjadi kendala. Kalau di SD kan calistung, kita fokus di situ jadi enak tidak terlalu berat. Tapi kalau di sini, ada mata pelajaran lain. Masa materi mau kami disini saja, kita harus selanjutnya-selanjutnya,” cerita Lukman.
Guru Segala Cuaca Bukan Sekadar Mata Pelajaran Semata
Pengorbanannya itu lah yang membuat Lukman melabeli dirinya sebagai “Guru Segala Cuaca” yang berarti tahan banting menghadapi berbagai macam problematika.
“Guru segala cuaca ini kan hmm inisiatif sendiri karena memang kita kan bukan orang pemerintahan kita membuat guru segala cuaca ini kan untuk kita inisiatif sendiri untuk bahwa kita ini guru yang tahan banting perbedaan masyarakat mungkin sangat-sangat jauh sekali kita juga mampu kita harus mampu begitu,” tegas pria anak satu tersebut.
Selain proses belajar mengajar, Lukman juga menyoroti beberapa hal yang kerap menganggu proses belajar mengajar di pedalaman Papua.
Mulai dari jarak sekolah jauh dengan kampung tempat tinggal dan kelaparan yang kerap dirasakan mayoritas murid Lukman.
Saking jauhnya membuat para siswa harus rela jauh dari orang tua untuk menginap di rumah masyarakat sekitar sekolah.
“Kasihan juga siswanya kadang-kadang kita problematika disini tuh kasihannya dengan siswa. Karena siswa ini kan dari kampung-kampung jauh, kita kan sekolah di distrik, di kecamatan istilahnya. Tapi lokasinya kan di kampung di kecamatan, karena ini kan sekolah lama.”
“Jadi ada 8 kampung, itu anak-anak itu dari 8 kampung itu sekolah disini dan mereka itu tinggal di masyarakat di satu rumah itu kadang ada 10 lebih ada yang 20 anak. Itu kalau kita bayangkan juga kasihan. Kalau kita tampung di asrama tidak bisa, di asrama kan hanya ada 6 kamar, kapasitas 6 kamar ya kalau 1 kamar 2 orang ya 20-an mungkin, sampai 20-an siswa saja. Sedangkan kita kan siswa ratusan lebih karena 8 kampung itu. Jadi mereka itu membaur di masyarakat, di saudara-saudaranya mungkin yang kenal. Begitu satu rumah itu 10 lebih. Kasihan, kondisi rumah kecil, kan rumah Papua kan tahu sendiri, istilahnya mohon maaf pengap apek atau atau apa begitu sudah ditambah anak-anak. Apalagi yang punya rumah juga anak banyak, ditambah anak sekolah, makin banyak itu yang saya kasihannya disitu,” beber Lukman.
Untuk masalah kelaparan, Lukman acap kali turut membantu muridnya yang kesulitan untuk sekadar makan.
Namun, jumlah yang saat ini lebih banyak ketimbang di tempat awal ia mengajar membuat Lukman tak mampu jika harus membantu semuanya.
“Jadi begini, dia tinggal di kampung-kampung yang jauh-jauh, dia tinggal di kampung yang dekat dengan sekolah ini.Iya, jadi mereka itu berbulan-bulan, berminggu-minggu itu disini di rumah masyarakat itu, tapi kan bekal mereka yang harusnya satu bulan karena teman banyak itu cepat habis, mungkin satu minggu bisa habis bekal yang mereka bawa kan sagu, satu karung lah (kalau disini bilang satu bola, kalau kita lihat satu karung, itu cepat habis). Makanya kadang kasiannya saya tanya, kamu sudah makan? Belum Pak Guru, terakhir kamu makan kapan? Satu hari yang lalu, setelahnya hampir ada yang dua hari, tahan lapar. Kamu makan, tidak ada makanan, terus kamu makan apa? Makan ini kelapa Pak Guru."
“Itu kan ironis bagi saya, ironis sekali, karena kita juga mau bantu nggak bisa, karena ini banyak sekali, tapi kalau di SD, saat itu kan ya, siswa mungkin lima puluhan atau dua puluh kan kita masih bisa ini, kalau ini kan seratus lebih kita nggak bisa membantu mereka, mungkin satu dua anak, tiga anak ya pasti kita bantu lah, seharinya begitu,” jelasnya.
Banyaknya siswa-siswi yang kelaparan dan jarang makan itu juga membuat proses belajar mengajar hanya sampai pukul 12.00 WIT.
“Kita ini sekolahnya enggak full, kita berbeda dengan sekolah lain, jadi jam 12 itu kita sudah pulang, karena memang kondisi anak. Ya bagaimana, kita mau bicara anak kekurangan gizi, karena anak kan tidak makan, tidak sarapan, mungkin itu sudah yang saya bilang, datang sekolah itu tidak sarapan, mungkin terakhir makan itu siang kemarin, jadi malamnya tidak makan, tiba-tiba pagi harus ke sekolah, mau dapat pelajaran minggu mana, pasti kan kondisi perut, pikiran tidak ini,” keluhnya dengan nada lirih.
Meski alami banyaknya kendala mengajar di pedalaman Papua tak surutkan langkah Lukman untuk terus mengajar dan berikan yang terbaik untuk anak didiknya.
Satukan Gerak Terus Berdampak, Kita Satu Indonesia
Tak sekadar mengajar dan menunaikan tugasnya saja, Lukman terus memberikan motivasi kepada anak-anak didik dan masyarakat yang pernah disinggahinya meski sudah terpisahkan oleh jarak.
Lukman juga kerap memberikan bantuan kepada mereka karena dahulu, masyarakat juga begitu mencintai dan mengasihinya.
“Masyarakat sangat menjaga saya, kekurangan apapun, masyarakat bantu kayak mungkin ikan, memberi ikan daging, sesuatu hal yang kita kekurangan mereka bantu, kita jaga betul, bahkan yang saat, jaringan tidak ada itu saya kan, telpon-telpon itu sampai larut malam, tapi mereka jaga, takut, katanya takut nanti Pak Guru diganggu, kalau mereka kan takutnya dengan diganggu setan, karena KKB kan tidak ada, disini menganggapnya takut Pak Guru diganggu setan jadi kita jaga itu yang membuat saya tersentuh disitu.”
“Makanya ketika saya suruh pindah kesini, masyarakat menangis semua, karena, ya itu mungkin kita sudah sangat dekat, apalagi sudah dijadikan anak adat, anak angkat, jadi sampai sekarang pun kita masih komunikasi, walaupun saya sudah 3 tahun disini, di tempat tugas yang kedua, tapi beberapa masyarakat sering komunikasi lewat inbox Facebook, karena mereka pakai Facebook, inboxannya pakai Facebook, padahal, terus, mungkin mereka juga ada, perlu bantuan apa, kadang kita juga sedikit rezeki begitu kita bantu-bantu mereka, untuk saling komunikasi.
Bahkan, pria yang menikah pada 2022 lalu itu juga memiliki adik angkat yang sukses diantarkannya hingga mengenyak Sekolah Tinggi Ilmu Pertahanan di Yogyakarta.
“Bahkan ada adik asuh yang saya, dulu kita bersama-sama, di kampung itu, di Jogja, di sekolah tinggi pertahanan negara Desember ini. Makanya, dan sana juga Desember ini mau pulang, mau hadir di wisudanya karena saat saya menikah di akhir 2022 juga, dia datang, saya jemput di kampus dan saya izin ke dosennya, saya bilang, ini saya mau menikah bu saya dari Papua, ini adik saya, jadi saya minta izin untuk mendampingi saya menikah begitu. Itu yang membuat saya terenyuh itu disitu."
"Dia anak muda disitu yang bantu saya, setelahnya ya saya dampingin, saya motivasi, kamu ini loh, kamu gak usah takut, kamu harus begini-begini, kalau kamu mau berupa, kamu harus begini, harus berani ambil resiko, begitu, makanya ya saat terus mungkin butuh biaya kan ya pasti ya mau tidak mau ya kita yang bantu karena kan gak mungkin orang tua juga ada sedikit itu apa namanya, uang kan pasti tidak ada juga makanya kadang kita yang kasih begitu lah kak, makanya saya anggap adik begitu. Itu dapat beasiswa dari pemerintah jadi pemerintah yang ini uang hanya saja kan, pemerintah kan kita tahu sendiri, namanya pemerintah kan mungkin uangnya segala macam, ya," ujarnya.
Lebih lanjut, dirinya lah yang turut mendorong anak tersebut untuk berani ambil risiko keluar dari zona nyaman hingga mendapatkan beasiswa.
"Makanya saya juga bersyukur sekali, dia bisa selesai walaupun mungkin keterbatasan, karena hidup di lingkungan yang berbeda dengan dia kan pasti butuh adaptasi tapi ternyata bisa, dan itu kan membuat motivasi untuk adik-adiknya di kampung itu juga kak, jadi sebilang ini loh, contoh ini harus ada beasiswa ini, kamu ikuti, ada program pemerintah itu kamu ikuti, coba saja, tidak masalah, daripada kamu menganggur di kampung, karena nanti menjadi contoh juga, tidak bagus yang untuk anak-anak selanjutnya kan begitu.," lanjutnya.
Apresiasi Satu Indonesia Awards untuk Anak-anak Pedalaman Papua
Lukman mengaku, apresiasi Satu Indonesia Awards ini ia persembahkan juga untuk anak-anak didiknya.
Selain itu, apresiasi ini juga diharapkan mampu memberikan motivasi lebih bagi rekan-rekan guru sejawatnya yang kini mengabdikan diri di pedalaman Papua.
"Jadi proses pendaftaran itu dimulai dari bulan Juli itu disuruh kita mendaftar karena ya saya tidak tau juga jadi pemenang jadi ini itu tidak tau tiba-tiba di bulan ini tiba-tiba muncul karena memang ya kita istilahnya disuruh mendaftar ya mendaftar saja mau juara tidak saya tidak ada harapan itu yang ada di harapan saya ya kalau memang ini tulisan saya membuat juri menyentuh mudah-mudahan ada yang datang ke sini meliput datang kesini supaya melihat anak-anak bisa bertanya anak-anak kekurangan ini supaya terdengar sampai nasional begitu yang saya harapkan makanya dapat apresiasi saya langsung sampaikan paginya saya sampaikan ke anak-anak di depan apel sebelum masuk kelas saya bilang anak-anak ini pahlawan ini dapat penghargaan tapi ini hanya tingkat provinsi saja Pak Lukman itu bukan menjadi pemenang atau apa tidak tapi ingin sekali kamu itu disini diliput, karena akses kita itu sangat sulit."
"Jadi wartawan yang datang ke sini tuh misal pakai perahu di sungai terombang-ambing ombak besar, itu bisa merasakan. Apa yang kita rasakan di sini. Saat saya bilang begitu anak-anak ketawa semua, karena memang akses kita sangat sulit di situ. Pokoknya ya anak-anak pun mengerti, ternyata Pak Lukman juga bisa begini. Makanya saya juga untuk motivasi anak-anak juga, bahkan motivasi rekan-rekan guru juga. Kita walaupun di daerah tertinggal, tapi kita harus punya inovasi, kita punya sesuatu yang harus kita kembangkan. Kita punya bakat apa, kita punya keahlian apa, kita kembangkan," pungkasnya.
(TribunWow.com/Adi Manggala S)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/wow/foto/bank/originals/Lukman-Papua-22.jpg)