Guru Segala Cuaca Anak-anak di Pedalaman Papua, Bukan Sekadar Mata Pelajaran Semata
Kisah perjuangan guru di pedalaman Papua, tepatnya di Kabupaten Maapi, Papua Selatan yang berjuang mendidik anak pedalaman Papua.
Penulis: Adi Manggala Saputro
Editor: adisaputro
Saking jauhnya, biaya untuk mencapai ke kota dari Distrik Venaha bisa mencapai Rp3.000.000 sampai dengan Rp.4.000.000.
“Sekarang sudah PPPK, mangkanya yang tempat tugas kedua ini, itu karena sudah SK nya disini saya pindah kesini begitu. Justru di tempat tugas yang kedua ini, itu sangat sangat jauh sangat sulit sekali. Ini biayanya cukup besar sekali untuk kita untuk biaya kendaraan saja.”
“Karena setiap charter itu kalau mau ke kota yang berarti distrik atau kecamatan yang terdekat itu yang sudah maju itu kita ya tiga juta empat juta itu untuk charter. Untuk kendaraan speedboat atau fiber begitu,” ungkapnya.
Pria berusia 30 tahun itu mengungkapkan, jauhnya sekolah dengan distrik membuat banyak guru jarang datang.
Hal itulah yang membuat Lukman tergerak dan memutuskan untuk jarang pergi ke kota agar tetap bisa memberikan pelajaran kepada anak-anak.
“Anak-anak ini kan butuh guru yang loyalitas yang penuh dedikasi. Terkadang ada beberapa guru yang hanya sebatas nama saja, tapi tidak mengajar kelas, tidak datang ke sekolah, karena kan jarak kita kan cukup jauh. Kota padahal lama itu, cukup jauh jadi kalau misalnya sudah ke kota kadang berminggu-minggu baru datang. Itu yang menyebabkan saya itu tergerak di situ,” jelasnya dengan nada terenyuh.
Rasa Cinta Masyarakat untuk Lukman
Pengorbanan Lukman yang tulus turut dirasakan oleh masyarakat di Kampung Masin.
Merintis sekolah hanya dengan satu rekannya jadi bukti pengorbanannya
Lukman selalu bergantian dengan satu rekannya jika satu di antara mereka ada yang tengah pulang.
“Apalagi saat merintis sekolah di situ kan kita hanya 2 orang saja, 2 orang setiap sekolah itu 2 guru jadi memang kalau misalnya kita pulang otomatis kan teman sendiri atau ketika teman pulang otomatis saya sendirian. Jadi ya kasiannya begitu, kalau kita putus kontrak, otomatis yang kehilangan itu bukan hanya anak-anak sekolah tapi masyarakat juga,” ucapnya.
Tak cuma dalam pembagian tugas, saat pertama kali membangun, Lukman dan rekannya bahu membahu untuk membangun ruangan sekolah beserta fasilitasnya dengan sederhana.
“Saat itu, kita berdua bikin ruangan Kalau saat itu ya kita ini gabung kadang dulu pas awal-awal kita hanya 2 ruang saja itu pun sekolah darurat. Bikin 2 ruang pakai papan bekas, pokoknya paku bekas kita bikin seadanya lah. Tempat duduk meja itu kita pakai papan sederhana saja itu 2 kelas saat itu yang awal-awal, jadi hampir 2 tahun itu 2 kelas, kelas besar dan kelas kecil.
Lukman menuturkan, pembagian dua kelas itu didasari dari kemampuan anak-anak dalam membaca dan menulis.
Meski sejatinya, mayoritas usia siswa dan siswinya saat itu sudah bukan lagi berusia anak-anak sekolah dasar.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/wow/foto/bank/originals/Lukman-Papua-22.jpg)