Konflik Rusia Vs Ukraina
Minta Biden Keluar dari NATO, Politisi AS Ungkap Siapa yang Raup Untung dari Konflik Ukraina
Politisi Republik mengkritik kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang mengeluarkan uang hingga miliaran dollar untuk membantu Ukraina memerangi Rusia
Penulis: anung aulia malik
Editor: Tiffany Marantika Dewi
TRIBUNWOW.COM - Sebuah kritikan keras disampaikan oleh politisi partai Republik di Amerika Serikat (AS) terhadap pemerintahan Presiden Joe Biden.
Anggota parlemen representasi Georgia, Marjorie Taylor Greene meminta pemerintahan Biden tidak menghamburkan uang sebanyak miliaran dollar untuk membantu Ukraina memerangi Rusia.
Dikutip TribunWow.com dari rt.com, Greene meminta AS keluar dari pakta pertahanan NATO.
Baca juga: Menlu Rusia Sebut Sudah Tak Percaya Lagi pada Amerika dan Uni Eropa, Singgung soal Tirai Besi
"Rakyat Amerika tidak ingin perang melawan Rusia, tetapi NATO dan pemimpin kita yang bodoh menyeret kita. Kita seharusnya keluar dari NATO," ujar Greene.
Greene menjelaskan bagaimana Rusia sebenarnya bisa menjadi aliansi AS.
Ia kemudian menjabarkan masalah di dalam negeri yang menurutnya harus menjadi prioritas untuk diselesaikan, mulai dari inflasi hingga kasus kriminal di mana-mana.
Greene menyebut ada beberapa pihak yang diuntungkan dalam konflik di Ukraina.
Berikut ini adalah pihak yang menurut Greene diuntungkan dalam konflik Ukraina:
1. Organisasi non pemerintah (NGO)
2. Kontraktor pertahanan
3. Penyedia dana hibah
4. Pebisnis
5. Penyedia bantuan kemanusiaan
6. Konsultan politik
"Perang adalah industri. Industri menguntungkan yang mematikan," kata Greene.
Baca juga: 21 Orang Tewas, Ukraina Sebut Rusia Gunakan Misil Serang Apartemen di Odesa
Ukraina Hanya Dianggap Alat oleh NATO
Presiden Rusia Vladimir Putin menjelaskan keterlibatan negara-negara barat dan NATO dalam konflik di Ukraina semata-mata adalah demi keuntungan mereka masing-masing.
Menurut Putin, Ukraina saat ini hanya menjadi alat bagi NATO dan negara barat untuk mencapai tujuan mereka.
Dikutip TribunWow.com dari Tass.com, hal ini disampaikan oleh Putin pada Rabu (29/6/2022).
Baca juga: NATO Minta Ukraina Terus Lawan Rusia: Pertempuran Ini Hanya Bisa Dimenangkan di Medan Perang
Putin mengungkit bagaimana NATO meminta Ukraina untuk terus berperang dan meminta Ukraina menolak berunding dengan Rusia.
"Membuktikan pendapat kami bahwa Ukraina bukanlah tujuan dan kepentingan rakyat Ukraina bukan tujuan bagi negara barat dan NATO," ujar Putin.
"(Ukraina) adalah sebuah instrumen yang digunakan untuk melindungi kepentingan mereka (NATO dan negara barat) sendiri."
Putin menyampaikan, negara-negara pemimpin NATO ingin menegaskan peran mereka di dunia internasional bukan sebagai seorang pemimpin namun mempertegas hegemoni mereka dalam ambisi kekaisaran.
Kemudian Putin mengungkit bagaimana NATO berulang kali membahas siapa yang berada di pihak mereka dan siapa yang bukan.
"Tidak ada yang baru bagi kami dalam hal tersebut," kata Putin.
Sebelumnya NATO meyakini konflik antara Rusia dan Ukraina akan berakhir lewat negosiasi.
Pernyataan ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg, Sabtu (25/6/2022).
"Kemungkinan besar, perang ini akan berakhir di meja negosiasi," kata Stoltenberg.
Stoltenberg menjelaskan, saat ini tanggung jawab NATO adalah untuk memastikan Ukraina memiliki posisi yang kuat saat melakukan perundingan dengan Rusia agar kedaulatan negara di Eropa tetap terjaga.
Menurut Stoltenberg, cara paling ampuh untuk membantu Ukraina adalah dengan mengirimkan bantuan militer, ekonomi, hingga sanksi terhadap musuh Ukraina yakni Rusia.
Saat ditanya kapan negosiasi damai akan terwujud, Stoltenberg menolak untuk berkomentar.
"Perdamaian selalu dapat dicapai jika Anda menyerah," kata dia.
"Namun Ukraina berperang demi kemerdekaannya, demi haknya untuk berdiri, demi hak untuk menjadi negara demokrasi tanpa menyerah kepada kekuatan Rusia."
"Dan Ukraina siap untuk membayar harga yang sangat tinggi untuk mengorbankan diri mereka demi nilai-nilai tersebut."
"Bukan hak kita untuk menjelaskan kepada mereka sejauh mana pengorbanan harus dilakukan," papar Stoltenberg.
Baca juga: Sempat Diunggah di Medsos, Walikota di Jerman hingga Spanyol Video Call dengan Pejabat Ukraina Palsu
Ukraina Menyerah Tak Jadi Gabung ke NATO
Sementara itu, pemerintah Ukraina menegaskan tidak akan lagi mengejar-ngejar agar bisa diterima menjadi anggota NATO.
Selama konflik Rusia-Ukraina berjalan, pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin berkali-kali memperingatkan agar Ukraina tidak bergabung ke NATO karena dapat membahayakan kedaulatan Rusia.
Dikutip TribunWow.com dari rt.com, saat ini Ukraina dipastikan tidak akan lagi berupaya untuk bergabung dengan aliansi militer yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) tersebut.

Informasi ini disampaikan oleh penasihat Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, Igor Zhovkva, Sabtu (25/6/2022).
Zhovkva menjelaskan, saat ini pemerintahan Zelensky hanya ingin mendapat pengakuan dari NATO bahwa Ukraina sangat penting untuk menjadi landasan keamanan di regional Eropa.
Volodymyr Zelensky juga ingin memastikan kemitraan antara Ukraina dan NATO.
"Anggota NATO telah menolak aspirasi kami," ujar Zhovkva.
"Kami tidak akan melakukan hal lain dalam masalah ini."
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov merasa yakin bahwa NATO dan Uni Eropa (UE) sedang membangun koalisi yang pada akhirnya bisa berperang dengan Rusia.
Dilansir TribunWow.com dari Newsweek, Jumat (24/5/2022), menilai tindakan tersebut sebagai strategi yang serupa dilakukan Nazi Jerman pada Perang Dunia II.
Orang kepercayaan Presiden Rusia Vladimir Putin itu juga membahas persetujuan yang diperoleh Ukraina untuk menjadi kandidat anggota UE.
Media pemerintah Rusia melaporkan Lavrov membuat komentar tersebut saat berbicara pada konferensi pers di Baku, Azerbaijan, setelah pertemuan dengan Jeyhun Bayramov, menteri luar negeri Azerbaijan.
Selama konferensi dengan wartawan, Lavrov membahas keputusan Uni Eropa untuk memberikan status pencalonan ke Ukraina dan Moldova pada Kamis (23/6/2022).
Baik Ukraina dan Moldova melamar untuk bergabung dengan organisasi itu segera setelah Rusia memulai serangannya terhadap Ukraina pada akhir Februari.
Langkah UE, yang merupakan langkah pertama dalam proses keanggotaan penuh, dipandang sebagai tanda dukungan bagi Ukraina dalam perangnya dengan Rusia.
RT, outlet berita negara Rusia, melaporkan bahwa Lavrov juga membandingkan tindakan NATO dan Uni Eropa baru-baru ini dengan strategi yang digunakan oleh Adolf Hitler sebelum diktator Nazi itu menyerang Uni Soviet.
"Hitler mengumpulkan bagian penting, jika bukan sebagian besar, dari negara-negara Eropa di bawah panjinya untuk perang melawan Uni Soviet," kata Lavrov.
"Sekarang, UE bersama dengan NATO membentuk koalisi lain, yang lebih modern, untuk kebuntuan dan, pada akhirnya, perang dengan Federasi Rusia."

Baca juga: VIDEO Rusia Terima Tantangan Perang Hibrida Habis-habisan dari Barat, Lavrov: Semua Berdampak
Hari itu menandai kedua kalinya Lavrov menyebut nama Hitler dalam beberapa pekan terakhir.
Pada 1 Mei, ia membandingkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, yang adalah orang Yahudi, dengan pemimpin Nazi.
Komentar tersebut dengan cepat dikutuk oleh Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid, yang menuntut permintaan maaf dari Lavrov.
Lapid menyebut perbandingan Lavrov tentang Zelensky dengan Hitler sebagai kesalahan sejarah yang mengerikan dalam sebuah wawancara dengan situs berita Israel Ynet.
"Ini adalah pernyataan skandal yang tak termaafkan," tegas Lapid.
Mikhail Podolyak, seorang penasihat Ukraina untuk kantor kepresidenan, juga termasuk di antara mereka yang mengkritik Lavrov karena menyamakan Zelensky dengan Hitler.
"Pernyataan anti-Semit yang jujur dari Lavrov, tuduhan terhadap orang-orang Yahudi dalam Perang Dunia II dan Holocaust adalah bukti lebih lanjut bahwa Rusia adalah penerus sah ideologi Nazi. Mencoba untuk menulis ulang sejarah, Moskow hanya mencari argumen untuk membenarkan pembantaian warga Ukraina,” kata Podolyak di Twitter.
Adapun sejak awal invasi, Kremlin telah berulang kali mengatakan bahwa salah satu tujuan utamanya dalam menginvasi negara tetangga adalah untuk mende-nazifikasi Ukraina.
Presiden Rusia Vladimir Putin juga menggunakan kemungkinan ekspansi NATO sebagai salah satu alasan untuk membenarkan konflik, meskipun Finlandia dan Swedia sama-sama mendaftar untuk bergabung dengan aliansi setelah pecahnya perang.
Dia juga telah memperingatkan NATO dan AS untuk tidak terlibat langsung dalam perang. (TribunWow.com/Anung/Via)