Terkini Nasional
Gugatannya Ditolak, Rizal Ramil Sebut MK Konyol: Bukan Mahkamah Konstitusi, tapi Mahkamah Kekuasaan
Ekonom senior Rizal Ramli menyebut konyol Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatannya soal presidential threshold.
Penulis: Elfan Fajar Nugroho
Editor: Lailatun Niqmah
"Saya tiga bulan setengah yang lalu ketemu dengan Pak Moeldoko, saya katakan yang merusak kita ini adalah demokrasi kriminal, sistem threshold ini," pungkasnya.
Simak videonya mulai menit ke-15.30
Rizal Ramli: Demokrasi Kita Demokrasi Kriminal
Dalam kesempatan itu, Rizal Ramli juga menyebut demokrasi Indonesia merupakan demokrasi kriminal.
Pernyataanya tersebut disampaikan menyusul gugatan atas presidential threshold atau ambang batas di pemilu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Dilansir TribunWow.com dalam kanal YouTube Karni Ilyas Club, Jumat (29/1/2021), Rizal Ramli mengaku tidak mendapat alasan yang tepat atas penolakannya tersebut.
"Dalam kasus saya, belum diproses sudah langsung ditolak, istilahnya legal standingnya enggak kuat," ujar Rizal Ramli.
"Rupanya mereka takut banget sama kita, karena kalau ada perdebatan persidangan saya yakin argumen-argumen dari hakim konstitusi tidak memadahi."
"Jadi dia pakai cara kekanak-kanakan," jelasnya.
Baca juga: Amien Rais Minta Kapolri Listyo Sigit Batalkan PAM Swakarsa: Punya Potensi Terjadi Proxy Killing
Rizal Ramli menyebut pihak-pihak yang mempersoalkan presidential threshold tentu mereka yang dari partai kecil maupun masyarakat yang menginginkan sistem demokrasi yang adil dan bersih.
Sebaliknya, untuk partai-partai besar yang sanggup memenuhi 20 persen syarat pengajuan calon, menurut Rizal Ramli tidak mempermasalahkan dan justru menikmati.
"Yang menikmati sistem presidential threshold ini sembilan partai yang besar ini. Mereka menikmati karena ada kewajiban 20 persen untuk calon bupati, gubernur, dan presiden," ungkapnya.
Mantan Menko Kemaritiman itu menyebut bahwa sistem presidential threshold itulah yang secara langsung mempengaruhi buruknya proses demokrasi di Indonesia.
Pasalnya tidak semuanya bisa mengikuti atau mencalonkan diri dalam pemilu.
Alhasil mereka yang tidak memenuhi syarat itu terpaksa mencari atau menyewa partai-partai lain.