Karni Ilyas Tanyakan Mana yang Paling Banyak Buzzer 01 atau 02, Analis Media Singgung soal Emak-emak
Analis Media Sosial Drone Emprit , Ismail Fahmi menjawab perihal mana antara kubu Pilpres 2019 lalu yang memiliki buzzer terbanyak.
Penulis: Roifah Dzatu Azma
Editor: Mohamad Yoenus
Buzzer sendiri bebas lantaran tak memiliki konsekuensi hukum.
"Kan tidak ada konsekuensi hukum juga menurut saya, ketika ada orang yg mau mem-bully atau menyerang atau dianggap melanggar hukum, dia tinggal tutup aja akunnya atau menghapus akunnya atau dibiarkan saja hingga tidak aktif lagi," lanjut dia.
Sedangkan jika ada nama akun yang jelas, maka disebut sebagai influencer.
"Jadi kalo misalnya akun tersebut memiliki nama dan real orangnya, contohnya Denny Siregar, atau selebritis atau profesi lainnya yang punya follower besar dan punya sikap atau preferensi untuk mendukung sesuatu atau tidak mendukung sesuatu," kata Enda.
• Mahfud MD Sebut Banyak Buzzer di Medsos yang Panasi Situasi Pemilu: Sudah Enggak Karuan Sekarang
Namun influencer memiliki kosekuensi sehingga tak bisa sembarangan mengunggah informasi.
"Dalam kategori influencer, mereka memiliki nama asli dan latar belakang yang jelas, misalnya orang-orang partai, politisi, orang bisnis, atau pengamat-pengamat politik, kita tidak bisa menyebut mereka sebagai buzzer, mereka adalah influencer yang punya preferensi dukung mendukung sesuatu isu atau orang," ungkap dia.
Sedangkan dalam dampak buzzer membuat dampak di masyarakat.
"Dampaknya yakni kebingungan dari masyarakat, siapa yang harus dia percaya, walaupun ada sumber-sumber yg kredibel misal media yang kredibel, pemerintah juga masih sebagai sumber yang kredibel," jelas dia.
"Tapi di zaman media sosial seperti sekarang, informasi tidak dilihat dari sumbernya yang mana, bahkan seringkali enggak tahu sumbernya dari mana karena merupakan hasil copy paste dari WhatsApp, atau status Facebook dan sebagainya," lanjut dia.
Ia memberikan contoh, jika ada satu orang yang selama ini mempercayai satu kelompok, maka akan akan terus mempercayai apapun postingan kelompok tersebut.
"Bila dia merasa kelompok A itu jahat, maka informasi yang mendukung referensi itu, akan ia percaya dan akhirnya ia sebarkan, begitu juga sebaliknya," kata Enda.
"Bila akan terus begini, kita akan terjebak dalam popularism artinya seolah-olah yang paling populer itu yang benar, padahal kebenaran itu bukan masalah populer atau tidak," tutup dia. (TribunWow.com/ Roifah Dzatu Azmah)