Travel
Kampung Batik Kauman Surakarta, Warisan Keraton yang Kini Menyusuri Dunia Digital
Dari gang bersejarah di Surakarta, Kampung Batik Kauman kini menenun kisah baru, bagaimana warisan keraton bertahan dan beradaptasi di era digital.
Penulis: Magang TribunWow
Editor: Yonatan Krisna
Pandemi Covid-19 sempat memukul keras ekonomi Kauman. "Pas corona parah-parahnya itu, sini ditutup total"
"Didatengin polisi, semua toko dipalang. Ndak ada penghasilan sama sekali berbulan-bulan," kenang Ibu Win.
Banyak toko terpaksa tutup karena tidak ada pemasukan.
"Waktu itu yang bantu kami bertahan ya online. Meski sedikit, tapi masih ada yang beli," ujarnya.
Tantangan terbesar yang dihadapi adalah persaingan dengan batik printing murah.
"Batik printing dijual 50 ribu, batik tulis kita 300 ribu, ya orang milih yang murah. Padahal kualitas dan prosesnya beda banget," keluhnya.
Untuk bertahan, ia fokus pada kualitas dan keunikan.
"Produknya diperbaiki terus, modelnya yang lagi tren. Tapi tetap jaga kualitas. Saya kalau suka kulakan ya saya beli, biar beda," katanya tegas.
Generasi Muda Harus Beradaptasi dengan Era Digital.
Melihat Kampung Batik Kauman yang mulai sepi regenerasi, Ibu Win punya harapan besar untuk generasi muda.
"Banyak toko tutup karena anaknya ndak mau nerusin, lebih pilih jadi karyawan di kota. Padahal kalau mau, usaha ini bisa berkembang," ujarnya prihatin.
"Harapan saya, anak muda Kauman harus buka usaha sendiri, kecil-kecil dulu ndak apa-apa. Jangan jadi karyawan. Kalau jadi karyawan, batik ini siapa yang nerusin?" tegasnya.
Ia mencontohkan kedua anaknya yang sama-sama berwirausaha.
"Lulusan kuliah mau jadi apa sekarang karyawan? Tenagamu diporsir 3 juta. Kecil-kecil jadi bos sendiri, nanti lama-lama besar," ujarnya.
Ibu Win juga menanamkan nilai kerja keras tanpa gengsi.
"Anak saya yang kecil kadang bantu di toko ini kalau libur. Kalau kakaknya butuh bantuan, dia juga mau. Bahkan kalau disuruh jualan es teh ya mau, ndak malu. Yang penting halal," kenangnya.
"Batik Kauman itu masih ada pasarnya. Apalagi sekarang sudah ada online, jangkauannya lebih luas. Tinggal anak-anak muda yang kreatif, yang paham teknologi, berani mulai," katanya penuh harap.
Kampung Batik Kauman kini berada di persimpangan antara tradisi dan modernisasi.
"Saya berharap batik Kauman ini terus hidup. Anak-anak muda harus mau melestarikan, caranya ya dengan buka usaha batik. Biar tradisi nenek moyang kita, warisan keraton kita, ndak hilang," ujar Ibu Win menutup perbincangan.
Toko-toko kecil seperti Batik Salsabila menjadi bukti bahwa warisan budaya keraton masih bisa bertahan di tengah modernisasi.
Dengan memadukan kearifan lokal dan teknologi digital, Kampung Batik Kauman terus menyusuri jalannya sendiri, menjaga napas tradisi yang telah berusia ratusan tahun.
Dari canting ke layar smartphone, batik Kauman terus bernapas, terus hidup, terus bercerita.
TribunWow.com/Peserta Magang dari Universitas Amikom Yogyakarta & UIN Raden Mas Said / Beta Lukitasari Wijaya dan Shafira Chasna Ranandi.