Travel
Kampung Batik Kauman Surakarta, Warisan Keraton yang Kini Menyusuri Dunia Digital
Dari gang bersejarah di Surakarta, Kampung Batik Kauman kini menenun kisah baru, bagaimana warisan keraton bertahan dan beradaptasi di era digital.
Penulis: Magang TribunWow
Editor: Yonatan Krisna
Motif parang melambangkan kekuatan, kawung melambangkan kesucian dan keadilan, sementara truntum melambangkan cinta yang tumbuh kembali.
"Batik Kauman itu bukan sekadar kain bermotif, tapi ada filosofi Jawa yang mendalam di setiap goresannya," tambahnya.
Bangkit dari Kebakaran dan Merangkul Teknologi.
Perjalanan Ibu Win di dunia batik Kauman dimulai dari tragedi kebakaran Pasar Klewer sekitar sembilan tahun lalu yang menghanguskan usaha konveksinya.
"Kebakaran itu malam, saya waktu itu masih setor-setor konveksi di Klewer. Semuanya hangus," kenangnya.
Dari kebangkrutan itu, ia bangkit dengan membuka toko di Kauman.
"Dulu konveksi tapi saya capek. Sekarang ini tok, batik jadi penghasilan utama saya dan keluarga," ujarnya.
Meski merambah digital, Ibu Win tetap mempertahankan kualitas tradisional. Di tokonya tersedia batik dengan harga Rp50.000 hingga Rp300.000.
"Ada yang buat sendiri, ada yang kulakan. Yang buat sendiri rada larang sithik karena masih pakai malam, kombinasi tulis sama cap, seperti cara lama pengrajin Kauman dulu," jelasnya.
Dari segi warna, batik Kauman tradisional menggunakan warna natural seperti cokelat soga, biru indigo, hitam, dan putih gading.
Proses pembuatannya bisa memakan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu, tergantung kerumitan motif.
"Makanya harganya memang lebih mahal dari batik printing. Tapi kualitasnya beda, orang yang ngerti batik pasti tahu bedanya," katanya.
Transformasi Digital Belum Maksimal, Tapi Tetap Optimis.
Ibu Win dan anaknya yang sedang menempuh bangku perkuliahan, membuka toko online di berbagai platform.
"Anakku yang buka online, ada di Shopee, Tokopedia, Lazada. Dia yang foto-foto produk, edit, upload, balas chat pembeli," jelasnya.