TRIBUNWOW.COM - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kembali mengungkap temuannya terkait kerangkeng manusia milik Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin.
Termasuk, adanya surat perjanjian antara keluarga calon penghuni kerangkeng Bupti Langkat dengan pihak pengelola yang disebut tempat rehabilitasi itu.
Hal itu disampaikan oleh Wakil ketua LPSK, Edwin Partogi saat konferensi pers di Medan, Sumatera Utara, Minggu (30/1/2022).
Baca juga: Penjelasan LPSK soal Dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kasus Kerangkeng Bupati Langkat
Baca juga: Fakta Baru Kasus Kerangkeng: Komnas HAM Ungkap Kode Kekerasan, Keluarga Bupati Langkat Buka Suara
Edwin, menyampaikan bila surat perjanjian itu ditandatangani di atas materai oleh kedua belah pihak.
"Keluarga juga tidak boleh keberatan jika tahahan meninggal atau sakit," kata dia, dikutip dari Tribunnews.com.
Selain itu, setelah seseorang dimasukkan ke dalam tempat rehabilitasi, pihak keluarga juga tidak boleh meminta tahanan keluar hingga satu tahun dan bahkan lebih.
Dikatakan bahwa selama tiga hingga enam bulan pertama dimasukkan ke dalam kerangkeng, keluarga juga tidak boleh menemui atau menjenguk.
"Jadi hal-hal tersebut menurut kami cukup menjadi satu petunjuk yang mengarah pada perdagangan orang," kata Edwin yang dikutip dari Kompas.com.
Sebagai informasi, kerangkeng manusia itu diakui pihak Terbit Rencana atau Cana sebagai tempat rehabilitasi dari ketergantungan narkoba.
Namun, pada kenyataannya tempat rehabilitasi itu dikatakan tidak layak sebagai tempat rehabilitasi, bahkan sebagai penjara.
Baca juga: Selain Kerja Tanpa Gaji, Diduga Lebih dari 1 Penghuni Karangkeng Bupati Langkat Tewas, Ini Sebabnya
Selain itu, LPSK juga mendapati temuan yang menunjukkan bahwa tidak semua penghuni kerangkeng itu pecandu narkoba.
"Contohnya ada yang judi, ada yang tak setia sama istrinya, mencuri, jadi macam-macam. Makanya diksi rehabilitasi itu jauh dari kenyataan," kata Edwin.
Berdasarkan hasil temuan LPSK nampak ada banyak hak-hak manusia yang dilanggar di kerangkeng milik Bupati Langkat itu.
Misalnya, tahanan di sana dipekerjakan dan tidak mendapat upah atas pekerjaan yang dilakukannya itu.
Selain itu, sejumlah ibadah yang memerlukan waktu di rumah ibadah juga tak diperkenankan untuk dilakukan.
"Kami lihat ada sajadah, tapi kami tanya apakah boleh salat Jumat, tidak boleh. Salat ied, tak boleh. Kemudian yang nonmuslim apakah boleh ke gereja di hari Minggu, Natal dan misa, tak boleh," jelas Edwin.