"Harus ada peningkatan evaluasi, koordinasi, dan keberlanjutan dari program-program deradikalisasi agar angka 11,4% ini menjadi 0," ujarnya.
Alif mengatakan saat ini, selain tidak wajib bagi para napiter, program deradikalisasi belum memiliki barometer terkait program deradikalisasi yang berhasil atau yang disebutnya success matrix.
"Belum ada yang membuat penilaian program sebenarnya bagaimana bentuk deradikalisasi yang berhasil? Namun, yang perlu dicatat ini adalah permasalahan semua negara," kata Alif.
Menurut Alif pembuatan ukuran keberhasilan program deradikalisasi mesti dilakukan dengan melibatkan sejumlah organisasi yang telah melakukan pendampingan para napi teroris.
Menurutnya, program deradikalisasi juga harus dilakukan sesuai dengan tingkat ektremisme seseorang.
"Ada program yang diarahkan ke mereka yang secara sukarela ingin mengikuti program (ekstremisme rendah) dan ada program yang diarahkan ke mereka yang tidak mau mengikuti (ekstremisme tinggi).
"Menurut saya lebih baik diwajibkan agar semua napiter paling tidak mendapatkan upaya deradikalisasi," tambahnya.
Sebelumnya, anak muda lain yang terlibat dalam aksi pengeboman bunuh diri adalah Dani Dwi Permana, pelaku bom Marriott di tahun 2009.
Saat melakukan aksinya, ia baru berusia umurnya 18 tahun. (*)
Berita lainnya terkait Bom Bunuh Diri di Gereja Katedral Makassar
Artikel ini telah tayang di BBC Indonesia dengan judul Bom Makassar: 'Milenial' terlibat bom bunuh diri dan iming-iming 'jalan pintas ke surga', bagaimana antisipasinya?