Terkni Nasional

DPR Tunda RUU Kekerasan Seksual karena Sulit dan Waktu Sempit, Siti Aminah: Saya Tak Habis Pikir

Editor: Lailatun Niqmah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah perempuan dari Gerakan Masyarakat Sipil untuk Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) melakukan aksi damai saat Car Free Day di Kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (25/8/2019). Dalam aksinya, mereka mensosialisasikan dan mendorong pengesahan RUU PKS untuk menjamin perlindungan bagi korban-korban kekerasan seksual.

Kurang dari 10% perempuan korban melaporkan kasusnya ke pengada layanan semasa Covid-19.

'Jangan berhenti pada persoalan pendampingan hukum saja'

Tren peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan, apalagi di masa pandemi, membuat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual -RUU PKS semakin penting untuk segera diloloskan.

Sebab, RUU PKS disusun demi memberikan perlindungan kepada para korban kekerasan seksual.

"Kita ingin melihat perhatian negara, pemerintah soal rehabilitasi. Pemulihan korban-korban kekerasan seksual ini luar biasa perlu dukungan, perlu serius," kata Ni Luh Putu Anggraini dari LBH APIK Bali.

"Jangan berhenti pada persoalan pendampingan hukum saja," imbuhnya kemudian.

Siti Aminah Tardi dari Komnas Perempuan menambahkan selama ini korban kekerasan seksual mendapat hambatan akses keadilan karena banyak kasus kekerasan seksual sulit diselesaikan dengan UU KUHP.

"Hukum kita, khususnya hukum pidana belum mampu mencakup seluruh bentuk-bentuk kekerasan seksual yang terjadi," jelasnya.

UU KUHP, beleid yang dibuat puluhan tahun lalu, hanya menyasar tiga bentuk kekerasan seksual, yaitu perkosaan, pencabulan dan persetubuhan.

Sementara, bentuk-bentuk kekerasan seksual berkembang pesat, mulai dari eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, perdagangan orang untuk tujuan seksual, pemaksaan penggunaan kontrasepsi dan pemaksaan aborsi. Bahkan kini ada kekerasan seksual berbasis online.

"Dengan tidak adanya hukum, korban akan menuntut keadilan dengan cara apa?."

"Efeknya korban tidak bisa mengklaim keadilan, korban tidak bisa mendapatkan akses keadilan," ungkap Ami.

Dia menambahkan, saat ini, ketika korban akan mengklaim keadilan menggunakan sistem hukum, maka dia akan berhadapan dengan sistem peradilan yang tidak ramah terhadap perempuan.

Sebab, UU KUHAP masih berorientasi pada perlindungan tersangka dan terdakwa, belum beriorentasi pada perlindungan terhadap korban.

Dalam UU KUHAP, lima bukti yang dapat dijadikan materi dalam sidang pengadilan pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Usul Tunda Bahas RUU PKS hingga 2021, Komisi VIII DPR: Pembahasannya Agak Sulit

Halaman
1234