Namun, satu bulan setelah melahirkan, pada April lalu, dia kembali mengalami kekerasan seksual, kali ini dilakukan oleh ayah suaminya, yang sekaligus pamannya sendiri.
Kasus ini dilaporkan ke unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Bali pada Senin (29/06) kepada kepolisian Denpasar yang sejak saat itu bergerak cepat menangkap pelaku.
Kepolisian Denpasar akhirnya menangkap terduga pelaku, IMY pada Selasa (30/06). Dia dijerat dengan Pasal 81 UU tentang Perlindungan Anak dengan ancaman 15 tahun penjara.
Ni Luh Putu Anggraini yang juga pegiat di Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH APIK) Bali, mengungkapkan penyintas masih merasakan trauma tiap kali teringat dengan perisitiwa yang dia alami.
"Ketika kita minta si anak ini mengungkapkan kasusnya, ternyata anak ini langsung teringat lagi. Biasanya kronologi kasus kan kita harus jelaskan, ternyata anak ini langsung bengong, nangis, merasa marah merasa takut," ungkap Anggraini.
"Akhirnya kami meyakinkan dia, 'Apakah kamu ingin membiarkan kasus ini?', jadi memang harus ada pendampingan psikologis pada korban. Kemudian dia dipersiapkan bahwa ini kasus hukum, kasus kekerasan yang bisa dilaporkan," ujarnya kemudian.
Namun, tak semua penyintas kekerasan seksual berani melaporkan kasusnya ke ranah hukum. Trauma dan ketakutan menyebabkan sebagian besar dari mereka memilih diam atau hanya memberitahukan kepada kerabat dan teman baik.
Padahal, data BPS menunjukkan satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan atau seksual selama hidupnya.
Kompas Perempuan mencatat, tren kekerasan terhadap perempuan terus meningkat tiap tahun.
Merujuk laporan Komnas Perempuan, dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792%, atau hampir 800%.
Artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat.
Kendati begitu, kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai fenomena gunung es, yang dapat diartikan bahwa dalam situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman.
Sementara, dalam survei terbarunya, Komnas Perempuan mengidentifikasi bahwa pandemi Covid-19 menyebabkan kerentanan baru pada kondisi kehidupan perempuan, termasuk pada kekerasan.
Kekerasan terhadap perempuan terutama dihadapi oleh perempuan yang berlatar belakang kelompok berpenghasilan kurang dari Rp5 juta per bulan, pekerja sektor informal, berusia antara 31- 40 tahun, berstatus perkawinan menikah, memiliki anak lebih dari 3 orang, dan menetap di 10 provinsi dengan paparan tertinggi Covid-19.
Sebanyak 80% responden perempuan pada kelompok berpenghasilan di bawah 5 juta rupiah per bulan menyampaikan bahwa kekerasan yang mereka alami cenderung meningkat selama masa pandemi.