7) Pertama, Freeport ini bnyk melanggar ketentuan UU n kontrak, mulai dr tdk memenuhi ketentuan divestasi saham, kewajiban membangun smelter, wanprestasi pembayaran royalti, kewajiban lain yg diatur dlm Kontrak Karya maupun dlm UU No. 4/2009 ttg Pertambangan Mineral dan Batubara.
8) Jadi, ada isu penegakan hukum di sini. Kedua, soal perpanjangan kontrak atau operasi, yaitu apakah Freeport akan diteruskan operasinya sesudah tahun 2021 ataukah tidak. Isu kedua ini adlh soal politik.
9) Jadi, menurut sy, masalah awalnya adlh dua hal itu. Tapi dalam perjalanannya ternyata terjadi pembelokan substansi, krn kedua masalah itu kemudian dijadikan masalah politik.
10) Menteri Luhut Panjaitan pernah menyatakan di @DPR_RI bahwa kontrak PTFI akan dibiarkan habis baru kemudian diurus. Tapi kenyataannya kan lain.
11) Kewajiban divestasi saham hingga 51 persen, yg merupakan tuntutan Kontrak Karya II dan juga UU No. 4/2009, yg semula merupakan persoalan hukum, akhirnya dilarikan menjadi persoalan politik krn digunakan sbg pintu masuk untuk memperpanjang operasi Freeport sebelum waktunya.
12) Kalau kita konsisten dgn UU, Freeport baru bs mengajukan perpanjangan pada 2019 ini. Tapi perundingan ini kelihatan basisnya bukan UU, melainkan hanya Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri ESDM yg terus-menerus diotak-atik n disesuaikan untuk kepentingan Freeport.
13) Itu sebabnya sy heran, knp hari ini muncul framing seolah pembelian 51 persen saham Freeport yg menggunakan duit utangan itu dianggap sbg kemenangan perundingan pihak kita.
14) Padahal jelas-jelas Freeportlah yg memenangkan seluruh proses perundingan ini. Framing kemenangan tadi sy kira sangat membodohi.
• Fadli Zon: Pemerintah Sekarang Terlalu Banyak Klaim, Tapi Sebenarnya Menyembunyikan Banyak Persoalan
15) Kita perlu mendalami persoalan ini. Pasca-transaksi pembelian saham kemarin, menurut sy stdknya ada lima persoalan yg harus dijawab pemerintah. Pertama, basis legalitas perundingan tsb, knp ada pembelokan substansi dan lain sebagainya, yg tak sesuai dgn UU No. 4/2009.
16) Kedua, sesudah PT Inalum menjadi pemegang saham mayoritas PTFI, kita perlu mempertanyakan bgmn Pemerintah akan menagihkan kewajiban-kewajiban hukum Freeport yg seharusnya ditunaikan sebelum proses pembelian saham ini berlangsung?
17) Misalnya, soal kewajiban membangun smelter yg nilai investasinya mencapai US$2,6 miliar. Siapa yg akan membiayai? Apakah investasi pembangunan smelter itu, yg mestinya telah dilakukan Freeport sejak 2009 silam, jg akan dibiayai menggunakan uang US$3,85 miliar?
18) Siapa, misalnya, yg akan membayar denda Rp460 miliar yg harus dibayarkan Freeport karena telah menggunakan hutan lindung tanpa izin? Jangan lupa, denda itu wajib dilunasi dalam dua tahun ke depan.
19) Jadi, sangat menggelikan jika semua kewajiban tadi pada akhirnya justru harus dibayar oleh kita sendiri. Lalu, di mana klaim kemenangan yg kini sedang digembar-gemborkan Pemerintah?!
20) Ketiga, kita perlu mempertanyakan langkah Inalum membeli saham PTFI menggunakan global bond. Sebab, dlm aturan global bond, kita tak bisa melarang kalau Freeport MacMoran yg semula mnjd pemegang saham mayoritas PTFI ikut membeli global bond yg diterbitkan Inalum.
21) Masalahnya, jika global bond Inalum yang digunakan untuk membeli Freeport Indonesia juga dipegang oleh Freeport McMoran, bukankah ini hanya dagelan belaka?