Pemilu 2024
Beda Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup Menurut Pengamat, Ada yang Tak Cocok Buat Partai Kecil
Sistem proporsional terbuka dan tertutup saat ini tengah menjadi pembicaraan dan menuai polemik, mana yang lebih tepat diterapkan di Pemilu 2024 nanti
Editor: Lailatun Niqmah
TRIBUNWOW.COM - Sistem proporsional terbuka dan tertutup saat ini tengah menjadi pembicaraan dan menuai polemik, mana yang lebih tepat diterapkan di Pemilu 2024 nanti.
Bahkan, di DPR RI, ada delapan partai politik (Parpol) yang menolak penggunaan sistem proporsional tertutup untuk Pemilu 2024.
Mengenai perdebatan terkait sistem terbuka dan tertutup, CEO dan Founder Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago turut memberikan pandangannya.
Baca juga: Ditolak 8 Parpol, Apa Itu Sistem Proporsional Tertutup yang Diwacanakan di Pemilu 2024?
Pangi Syarwi Chaniago membandingkan sistem proporsional terbuka dan tertutup, dengan melihat kelebihan serta kelemahannya.
Menurut Pangi, sistem proporsional terbuka kekuatan ada pada figur kandidat populis, melemahkan partai politik, tidak ada pembelajaran dan tidak menghormati proses kaderisasi di tubuh partai politik, sementara proporsional tertutup menguatkan institusi kelembagaan partai politik.
Pangi mengatakan menguatnya keinginan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup boleh jadi karena anti tesis rendahnya kualitas, kapasitas, mutu dan kompetensi 575 anggota DPR-RI yang terpilih di periode sekarang.
Walaupun mereka dipilih rakyat secara langsung tapi produk undang-undang yang dihasilkan jauh dari jeroan selera rakyat, undang-undang untuk kepentingan elite semata.
Kelemahan Sistem Proporsional Terbuka
Setidaknya, menurut Pangi ada beberapa alasan menggapa sistem pemilu proporsional terbuka telah merusak partai politik.
Pertama, calon legislatif sesama di internal partai bersaing ketat satu sama lain, manusia menjadi serigala bagi sesamanya (leviathan), saling menerkam dan saling memakan di antara internal caleg.
Kedua, sistem proporsional terbuka melemahkan partai politik, tidak ada caleg yang benar-benar kampanye mengunakan visi dan misi yang telah disusun partai, masing-masing caleg berkampanye dengan cara, tema dan narasinya sendiri-sendiri.
"Sistem proporsional terbuka mengesampingkan tautan platform, visi dan misi partai hanya sebagai aksesoris pajangan belaka, hanya gimik, tidak digunakan masing-masing caleg sebagai fitur kampanye, realitasnya masing-masing caleg berkampanye untuk dirinya sendiri-sendiri," kata Pangi, dalam keterangannya, Senin (9/1/2023).
Ketiga, sistem proporsional terbuka lebih cenderung menyebabkan pemilih memilih figur kandidat ketimbang tautan partai.
Itu maknanya sistem proporsional terbuka lebih mengandalkan figur ketimbang menguatkan sistem kepartaian, cenderung memilih presiden ketimbang partai, senang dengan nama, maka memilih nama dan tidak memilih partai.
"Tentu saja, memang tidak bisa disamaratakan kasusnya, misalnya PDIP dan PKS lebih cenderung yang menonjol pengaruh DNA partai ketimbang pengaruh kandidasi figur calonnya di dalam memutuskan pilihan politiknya, artinya party effect lebih menonjol daripada person effect," ucapnya.
Sumber: Tribunnews.com
4 Fakta Sidang Sengketa Pileg 2024 yang Disidangkan MK Mulai Hari Ini, PPP dengan Perkara Terbanyak |
![]() |
---|
Partai Pengusung Gibran saat Pilwalkot Nilai Sebutan Khilaf PDIP Kurang Pas, Hanya Emosional Sesaat |
![]() |
---|
Daftar 19 Caleg Perempuan Partai Gerindra yang Lolos ke DPR RI, Bertambah dari Periode 2019-2024 |
![]() |
---|
Hasto Klaim PDIP Menang 3 Kali Pemilu meski Tanpa Jokowi, Singgung Suara PSI yang Tak Bisa Lolos |
![]() |
---|
Daftar 3 Pendakwah yang Gagal Melaju ke Senayan, Ada Caleg Petahana hingga Ustaz Yusuf Mansur |
![]() |
---|