Pemilu 2024
Beda Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup Menurut Pengamat, Ada yang Tak Cocok Buat Partai Kecil
Sistem proporsional terbuka dan tertutup saat ini tengah menjadi pembicaraan dan menuai polemik, mana yang lebih tepat diterapkan di Pemilu 2024 nanti
Editor: Lailatun Niqmah
Keempat, sistem pemilu proporsional terbuka juga menyebabkan salah satu alasan rendahnya identitas partai, hanya sebesar 13,2 persen, pemilih yang merasa dekat baik secara “ideologis” maupun secara “psikologis” dengan partainya.
"Dugaan saya salah satu penyebab rendahnya party-ID karena penerapan sistem pemilu proporsional terbuka, sepanjang tetap memakai sistem proporsional terbuka, maka selama itu presentase party-ID di Indonesia tetap rendah," katanya.
Kelima, sistem pemilu proporsional terbuka juga menyebabkan tingginya “split ticket voting”, tidak tegak lurus atau beririsan antara pilihan partai dan pilihan presiden.
Fenomena split ticket voting adalah bentuk dari kegagalan partai politik politik di dalam mengelola isu dan program, kejenuhan konstituen yang kemudian menyebabkan pemilih abai terhadap keinginan partai, kecenderungan pemilih lari kepada calon lain yang justru tidak diendorse oleh partainya, akibat rendahnya party-ID menyebabkan pemilih tidak taat kepada partainya.
Keenam, sistem pemilu proporsional terbuka cenderung merusak sistem meritokrasi parpol, melemahkan proses kaderisasi partai.
"Yang tadinya bukan kader partai, lalu tiba-tiba bisa nyelonong jadi caleg, dapat nomor urut cantik lagi. Sistem proporsional terbuka tokoh populis, artis dan publik figur mendapatkan tempat istimewa di partai (privilege), karena caleg artis dimanfaatkan sebagai vote getter mesin pengumpul suara semata oleh partai politik," ujarnya.
Baca juga: Proses Tahapan dan Jadwal Pemilu 2024 sesuai Ketentuan KPU, Kapan Pemungutan Suara Dimulai?
Kelemahan Sistem Proporsional Tertutup
Adapun yang menjadi kelemahan sistem proporsional tertutup yakni:
Pertama, mengurangi interaksi dan intensitas kader partai dengan pemilih.
Caleg yang terpilih bakal jarang turun bersosialisasi, menyapa dan menyalami masyarakat secara langsung, sebab caleg yang terpilih bertanggung jawab langsung kepada partainya bukan konstituennya, sumber kekuasaan bukan daulat rakyat, tapi daulat elite parpol.
Kedua, lanjut Pangi, cenderung caleg tidak mau bekerja keras untuk mengkampanyekan dirinya dan partai, sebab mereka percaya yang bakal dipilih adalah caleg prioritas nomor urut satu, bukan basis suara terbanyak, itu artinya menurunkan persaingan antar kader internal caleg.
Ketiga, kurang sesuai untuk partai baru dan partai kecil yang belum terlalu dikenal.
Keempat, belum cocok untuk partai yang populis, yang belum kuat dan belum tumbuh secara merata sistem kaderisasinya.
Kelima, menguatnya oligarki di internal partai politik, partai ada kemungkinan lebih mengutamakan kelompok dan golongan tertentu, kekuasaan berada di tangan segelintir orang.
Keenam, proporsional tertutup di khawatirkan seperti memilih kucing dalam karung, pemilih banyak tidak kenal dengan daftar list nama calegnya.
"Sebab pemilih tidak merasa dekat dengan pemilihnya," tandasnya. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul 6 Kelebihan dan Kelemahan Pemilu dengan Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup Menurut Pengamat
Sumber: Tribunnews.com
4 Fakta Sidang Sengketa Pileg 2024 yang Disidangkan MK Mulai Hari Ini, PPP dengan Perkara Terbanyak |
![]() |
---|
Partai Pengusung Gibran saat Pilwalkot Nilai Sebutan Khilaf PDIP Kurang Pas, Hanya Emosional Sesaat |
![]() |
---|
Daftar 19 Caleg Perempuan Partai Gerindra yang Lolos ke DPR RI, Bertambah dari Periode 2019-2024 |
![]() |
---|
Hasto Klaim PDIP Menang 3 Kali Pemilu meski Tanpa Jokowi, Singgung Suara PSI yang Tak Bisa Lolos |
![]() |
---|
Daftar 3 Pendakwah yang Gagal Melaju ke Senayan, Ada Caleg Petahana hingga Ustaz Yusuf Mansur |
![]() |
---|