Konflik Rusia Vs Ukraina
Dikhawatirkan Hasut Warga Lokal, Ini Isi Kampanye Anti Pengungsi Ukraina yang Ramai di Sosmed
Saat ini mulai beredar laporan palsu hingga artikel provokatif yang berniat membangkitkan sentimen anti pengungsi dari Ukraina.
Penulis: anung aulia malik
Editor: Elfan Fajar Nugroho
TRIBUNWOW.COM - Belasan juta warga Ukraina terpaksa meninggalkan negara mereka karena serangan pasukan militer Rusia.
Setelah kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan mereka, saat ini para pengungsi Ukraina di negara tetangga tengah menghadapi masalah baru.
Dikutip TribunWow.com dari TheGuardian, saat ini mulai beredar banyak artikel dan berita palsu yang menyudutkan para pengungsi Ukraina di negara tetangga.
Baca juga: Sekelompok Tentara Rusia Laporkan Atasannya setelah Disekap akibat Menolak Perang ke Ukraina
Kampanye disinformasi yang menyerang para pengungsi Ukraina mulai banyak ditemukan di sosial media.
Temuan ini disampaikan oleh lembaga amal World Vision.
Pesan dan kampanye anti pengungsi Ukraina mulai ramai tersebar di Romania, Moldova, Polandia hingga negara-negara Eropa Timur yang menjadi tujuan para pengungsi Ukraina.
World Vision memperingatkan bahwa maraknya berita palsu dan disinformasi yang menyudutkan para pengungsi akan memiliki dampak kepada kaum rentan.
Dicontohkan nantinya anak-anak dari Ukraina rentan menerima kekerasan visik hingga diskriminasi bahkan perdagangan manusia.
Penasihat di World Vision, Charles Lawley menjelaskan, semakin dibiarkan, kampanye anti pengungsi Ukraina akan semakin memiliki dampak yang besar.
Berdasarkan laporan World Vision, laporan palsu yang beredar pada umumnya menarasikan bagaimana para pengungsi Ukraina mendapat keistimewaan serta bantuan dari pemerintah tuan rumah melebihi perhatian pemerintah kepada warga lokal.
Baca juga: Mahkamah Agung Rusia Nyatakan Resimen Azov sebagai Organisasi Teroris, Ini Nasib Mereka yang Ditahan
Polandia Minta Pengungsi Ukraina Mandiri
Sebelumnya, dimulai pada Jumat (1/7/2022), pemerintah Polandia kini telah menghentikan pemberian bantuan uang kepada pengungsi asal Ukraina.
Sebelumnya pengungsi asal Ukraina sehari-hari diberikan jatah oleh pemerintah Polandia sebesar $9 atau sekira Rp 135 ribu untuk makan.
Dikutip TribunWow.com dari rt.com, pengumuman dihentikannya bantuan uang ini disampaikan oleh Pawel Szefernaker selaku Wakil Menteri Dalam Negeri dan Komisioner untuk pengungsi.

Baca juga: Kondisi Terkini Bucha, Jurnalis Inggris Terkejut Lihat Warga Ukraina Bersikap Biasa Ada Banyak Mayat
"Kami meyakini banyak orang di Polandia memiliki kapabilitas untuk independen dan beradaptasi," ujar Pawel.
Pemerintah Polandia berharap pengungsi Ukraina dapat lebih mandiri dan aktif mencari kerja seusai bantuan uang tak lagi diberikan.
"Empat bulan perlindungan penuh, menurut kami adalah waktu yang cukup untuk beradaptasi di Polandia," jelas Pawel.
Pawel menyampaikan, pihak yang masih akan mendapat bantuan adalah penyandang disabilitas, ibu hamil, dan keluarga yang memiliki banyak anak.
Data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan Polandia menerima paling banyak pengungsi dari Ukraina dibandingkan negara-negara lainnya.
Diperkirakan ada sekira 4,3 juta warga Ukraina yang mengungsi ke luar dari Ukraina lewat Polandia, dan 1,5 juta pengungsi menetap di Polandia.
Di sisi lain, pemerintah Inggris menyatakan akan mengusir pengungsi dari Ukraina di Inggris dalam kategori tertentu.
Pernyataan ini disampaikan oleh Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson.
Dikutip TribunWow.com dari rt.com, pengungsi Ukraina yang datang secara ilegal ke Inggris nantinya akan dibuang atau dideportasi ke Rwanda, Afrika.
Baca juga: Sempat Dipuji, Drone Buatan Turki Kini Dianggap Sudah Tak Mampu Lawan Pasukan Rusia di Ukraina
Baca juga: Sebut Rusia Kekurangan Pilot Militer, Inggris Ungkap Pengakuan Tentara Bayaran di Ukraina
"Jika Anda datang ke sini secara ilegal, Anda mengganggu mereka yang datang ke sini secara legal," ujar Boris.
Namun Boris menambahkan, kemungkinan besar tidak akan ada pengungsi Ukraina yang dibuang ke Afrika.
Boris sendiri mengatakan, strategi memindahkan pengungsi ilegal ke Rwanda akan merusak bisnis para pelaku perdagangan orang yang memindahkan orang-orang secara ilegal ke Inggris.
Kebijakan pemerintah Inggris terkait mendeportasi pengungsi Ukraina ke Afrika telah menuai protes dan kritik dari oposisi hingga kelompok-kelompok HAM.
Politisi di Inggris juga memperingatkan bahwa kebijakan membuang pengungsi ke Afrika justru dapat memperparah kejahatan perdagangan manusia.
Inggris adalah satu dari beberapa negara yang menjadi tujuan utama para pengungsi dari Ukraina seusai pasukan militer Rusia datang menginvasi.
Per 29 Mei 2022, total ada 65,700 pengungsi Ukraina di Inggris.
Dikutip TribunWow.com dari Theguardian.com, puluhan ribu pengungsi tersebut kini terancam berakhir menjadi gelandangan di Inggris.
Sementara ini pengungsi Ukraina masih ditampung oleh para warga Inggris yang bersedia menjadi host atau tuan rumah bagi para pengungsi.
Namun ketika masa waktu tinggal di rumah host habis, para pengungsi Ukraina mau tidak mau harus mencari tempat tinggal sendiri.
Baca juga: Pejabat Boneka Rusia di Ukraina Tewas karena Bom di Mobil, Videonya Beredar di Medsos
Di Inggris sendiri terdapat pengecekan ketat mengenai latar belakang calon orang yang akan menyewa rumah.
Berbagai dokumen harus disiapkan oleh orang yang akan menyewa, mulai dari rekam jejak pendapatan hingga dokumen-dokumen penting lainnya.
Kelengkapan dokumen ini mustahil bisa dipenuhi oleh beberapa pengungsi yang pergi dari Ukraina dalam kondisi darurat karena invasi Rusia.
Opora, sebuah jaringan yang bergerak membantu masyarakat Ukraina telah mendapat laporan adanya keluarga asal Ukraina yang tidak bisa menyewa rumah karena gagal dalam pengecekan latar belakang.
Baca juga: Ledek Macron, Pabrik Senjata di Rusia Tantang Prancis Kirim Lebih Banyak Artileri ke Ukraina

Padahal ada pengungsi yang memiliki uang yang cukup dan pekerjaan dengan penghasilan yang stabil.
Pasangan suami istri asal Ukraina di Inggris bernama Dmytro Chapovski, seorang teknisi piranti lunak dan Polina, seorang fisioterapis gagal ditolak oleh 12 agensi saat mencari rumah untuk disewa.
Saat ini baru sebagian kecil pengungsi yang merasakan halangan ini, namun diprediksi ribuan pengungsi Ukraina lainnya akan terkena dampaknya seiring habisnya program warga Inggris untuk menyediakan tempat tinggal bagi pengungsi.
Ditawari Kamar Bayar Pakai Seks
Mahasiswi asal Ukraina bernama Alina (21) mengaku butuh perjuangan sebelum menemukan rumah singgah saat mengungsi ke Inggris.
Alina menyebut banyak oknum di Inggris yang berusaha memanfaatkan kondisi para pengungsi yang segera butuh tempat tinggal.
Pada akhirnya Alina kini tinggal bersama Beth (33), seorang wanita yang bekerja sebagai ilmuwan biomedis dan ketua pramuka di Cardiff.
Dikutip TribunWow.com dari bbc.com, sebelum memutuskan untuk tinggal bersama Beth, Alina memerlukan waktu yang tak singkat.
Ia pertama mengecek seperti apa kehidupan pribadi Beth lewat akun media sosial (medsos) milik Beth.
Selain itu, Beth juga melakukan berbagai upaya supaya mendapat kepercayaan Alina.
Beth menjelaskan bahwa ia akan menyediakan tempat tinggal gratis kepada Alina selama satu tahun tanpa menuntut bayaran apapun.
"Saya berpikir, saya merasa aman dengan wanita ini," ujar Alina.

Alina bercerita, ia sempat menerima pesan-pesan mengkhawatirkan di email dan WhatsApp-nya.
"Saya berhadapan dengan banyak orang yang ingin mengambil keuntungan dari saya," kata Alina.
Alina bercerita, beberapa pesan tersebut menawarkan Alina untuk bekerja sebagai babysitter, hingga menjaga anjing.
Alina mengakui pesan-pesan itu membuatnya curiga.
"Saya seorang pengungsi, saya butuh tempat aman untuk tinggal. Saya tidak sedang mencari uang atau pekerjaan," kata dia.
"saya mendengar ada banyak orang, gadis yang ditawari kamar dengan bayaran hubungan seks," ujar Alina.
Dikabarkan, para pengungsi wanita dari Ukraina terancam mendapat pelecehan seksual oleh warga Inggris.
Terutama dari sejumlah pria lajang yang menawarkan diri untuk menampung mereka.
Hal ini mendorong komisioner tinggi PBB (UNHCR) untuk meminta Inggris agar meninjau kembali skema penampungan sementara untuk pengungsi itu.
Dilansir TribunWow.com dari Aljazeera, Jumat (14/3/2022), tak hanya menjadi korban perang, pengungsi Ukraina juga terancam menjadi korban pelecehan.
Diketahui, Inggris mengadakan program 'Rumah untuk Ukraina', warga yang memiliki kamar cadangan diizinkan membuka rumah mereka bagi warga Ukraina selama mereka dapat menawarkan akomodasi setidaknya selama enam bulan.
Tetapi ada kekhawatiran yang berkembang bahwa perempuan berada dalam risiko akibat program tersebut.
Adapun lebih dari 150.000 orang telah mendaftar sebagai tuan rumah pada hari-hari menjelang peluncuran skema itu pada 18 Maret.
Baca juga: Bayar Aktor Rp 370 Ribu, Intelijen Ukraina Siapkan Rekayasa Tentara Rusia Bakar Rumah Warga Sipil
Pekan lalu, penyelidikan rahasia oleh surat kabar The Times mengungkapkan bagaimana beberapa pria lajang Inggris mengusulkan berbagi tempat tidur dan mengirim pesan yang tidak pantas dan bernada seksual kepada wanita yang melarikan diri dari perang.
Kabar ini didukung pernyataan James Jamieson, ketua Asosiasi Pemerintah Lokal (LGA), yang memperingatkan kemungkinan pengungsi Ukraina bisa menjadi tunawisma.
Dia mengatakan bahwa telah terjadi peningkatan yang mengkhawatirkan dalam jumlah pengungsi Ukraina yang meninggalkan tuan rumahnya.
Pengungsi itu memilih pergi setelah hubungan dengan tuan rumahnya rusak atau menemui akomodasi keluarga tidak sesuai.
Dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu, UNHCR mengatakan pemerintah Inggris perlu mengembangkan proses yang lebih tepat.
Sehingga dapat memastikan para wanita, termasuk mereka yang memiliki anak, mendapat tuan rumah dengan keluarga atau pasangan, daripada pria lajang.
“Pencocokan yang dilakukan tanpa pengawasan yang tepat dapat meningkatkan risiko yang mungkin dihadapi perempuan, selain trauma pemindahan, perpisahan keluarga, dan kekerasan yang sudah dialami,” bunyi pernyataan UNHCR.
Namun rupanya, pemerintah tidak selalu mencocokkan tuan rumah dengan pengungsi di bawah skema 'Rumah untuk Ukraina'.
Alih-alih, warga yang berminat langsung menghubungi pengungsi Ukraina menggunakan grup Facebook dan platform media sosial lainnya, yang dinilai kurang aman.
“Kami takut proses pencocokan gratis terbuka lebar untuk dieksploitasi oleh pedagang manusia dan orang lain yang menyasar pengungsi yang rentan,” ujar Louise Calvey, kepala layanan dan perlindungan di badan amal Inggris Refugee Action.
“Para menteri harus turun tangan dan mengatur dengan tepat sponsor yang cocok untuk memastikan bahwa orang-orang rentan yang datang ke sini mendapatperlindungan aman.” (TribunWow.com/Anung/Via)