Konflik Rusia Vs Ukraina
Uni Eropa Kaji Rencana Penggunaan Aset Rusia yang Dibekukan untuk Membangun Kembali Ukraina
Uni Eropa pertimbangkan penggunaan aset Rusia untuk memperbaiki kerusakan di Ukraina akibat serangan pasukan Presiden Vladimir Putin.
Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Lailatun Niqmah
Menurut berbagai perkiraan, aset Rusia yang dibekukan akibat sanksi Barat dapat berjumlah 300 hingga 500 miliar dolar AS (sekitar Rp 5 kuadriliun hingga Rp 7,5 kuadriliun).
Baca juga: Asetnya Dibekukan, Apa yang Terjadi jika Rusia Gagal Bayar Utang Negara yang Jatuh Tempo?
Reaksi Rusia soal Isu Asetnya akan Diberikan ke Ukraina
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengecam gagasan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell.
Pasalnya, Borell mengusulkan untuk menyita aset Rusia yang dibekukan di luar negeri guna menyerahkannya ke Ukraina.
Pemberian aset Rusia tersebut dinilai tepat sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kerusakan yang ditimbulkan di Ukraina.

Baca juga: Zelensky Umumkan Kejahatan telah Kembali, Sebut Ukraina akan Atasi Rusia karena Miliki Darah Pejuang
Dikutip TribunWow.com dari TASS, Kamis (12/5/2022), Lavrov naik pitam dan mengatai usulan itu sebagai pencurian terang-terangan.
"(Proposal ini), bisa dikatakan, adalah pencurian, yang bahkan tidak mereka coba sembunyikan," kata Lavrov pada hari Selasa (10/5/2022) saat konferensi pers yang mengakhiri kunjungannya ke Aljazair.
Adapun aset Rusia tersebut telah dibekukan sebagai bentuk sanksi akibat invasinya ke Ukraina.
Cadangan devisa negara itu dikatakan memiliki jumlah total $ 630 miliar (Rp 9 kuadriliun) yang kini secara efektif dibekukan oleh sanksi di AS, UE, dan tempat-tempat lain.
Lavrov kemudian mengecam Barat karena melakukan praktik yang sama terhadap Bank Sentral Afghanistan.
Menurutnya, Barat telah membekukan cadangan Bank tersebut dan tidak bersedia mengalokasikan dana itu untuk kebutuhan Afghanistan.
"Mereka telah membekukan uang, yang merupakan milik Afghanistan, ke Bank Sentral Afghanistan, di Amerika. Dan mereka ingin uang itu dihabiskan bukan untuk kebutuhan rakyat Afghanistan, yang telah menderita akibat kehadiran 20 tahun negara-negara NATO. Tetapi mereka menginginkannya untuk beberapa tujuan lain yang tidak terkait dengan rekonstruksi ekonomi Afghanistan," beber Lavrov.
Ia yakin bahwa Uni Eropa, yang tidak memiliki kebijakan luar negeri sendiri, bergantung sepenuhnya pada Amerika Serikat.
Lavrov pun menyarankan agar kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa tidak melupakan bahwa dia adalah diplomat tertinggi di Uni Eropa, dan bukan kepala militer.
"Kita mungkin akan segera melihat bahwa posisi diplomat top Uni Eropa ini akan dihapuskan, karena Uni Eropa hampir tidak memiliki kebijakan luar negerinya sendiri, berada dalam solidaritas penuh dengan pendekatan yang diberlakukan oleh Amerika Serikat," ujar Lavrov.