Konflik Rusia Vs Ukraina
10 Tahun Menyamar Jadi Warga Brazil, Mata-mata Rusia Terciduk saat Daftar Program Magang di ICC
Seorang agen rahasia Rusia kepergok saat mendaftar program magang di Mahkamah Pidana Internasional atau pengadilan kejahatan internasional.
Penulis: anung aulia malik
Editor: Elfan Fajar Nugroho
TRIBUNWOW.COM - Selama lebih dari 10 tahun mata-mata Rusia bernama Sergey Vladimirovich Cherkasov (36) membangun identitas palsu sebagai seorang warga negara Brazil.
Berpura-pura menjadi warga bernama Viktor Muller Ferreira (33), Sergey mencoba mendaftar program magang di Mahkamah Pidana Internasional alias International Criminal Court (ICC) yang ada di Den Haag, Belanda.
Namun aksi penyamaran Sergey terbongkar oleh Badan Intelijen Belanda ketika yang bersangkutan mendaftar program magang tersebut.
Baca juga: Saat Bahas Konflik Ukraina, Menlu Rusia Sebut Inggris Korbankan Kepentingan Warga demi Nafsu Politik
Baca juga: Panglima Tentara Inggris Sebut Mustahil Rusia Bisa Kuasai Seluruh Ukraina: Kehabisan Orang
Dikutip TribunWow.com dari Theguardian.com, seusai ditangkap, Sergey sempat ditahan oleh kantor imigrasi Belanda.
Kemudian Sergey dikirim pulang ke Brazil.
Pada saat Sergey hendak menyusup, ICC tengah menyelidiki kasus dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh Rusia di Ukraina.
Diperkirakan apabila Sergey berhasil menyusup maka ia berpotensi memanipulasi hingga menghilangkan dokumen terkait bukti kasus kejahatan perang Rusia di Ukraina.
Dirjen Agensi Intelijen Belanda, Erik Akerboom menyatakan aksi yang dilakukan oleh Sergey sebagai ancaman tingkat tinggi.
"Ini jelas menunjukkan apa yang hendak dilakukan oleh Rusia, mencoba memeroleh akses ilegal ke informasi di dalam ICC," ujar Akerboom.
Sebagai informasi, ICC setiap tahunnya menawarkan program magang untuk pelajar dan lulusan di bidang hukum hingga psikologi sosial.
Sebelumnya, seorang warga Rusia berusia 40 tahun ditangkap di Inggris diduga merupakan agen rahasia yang menjadi mata-mata kiriman Presiden Rusia Vladimir Putin.
Pria yang namanya dirahasiakan ini ditangkap di Bandara Gatwick pada Senin (13/6/2022).
Menurut keterangan aparat berwenang, pria Rusia tersebut hendak pergi meninggalkan Inggris.
Dikutip TribunWow.com dari Thesun.co.uk, kini pria tersebut telah dibawa ke Kantor Polisi Hammersmith, London barat.
Pria itu ditahan atas dugaan sabotase dan mata-mata yang berguna untuk negara musuh.
"Pelaku diyakini berada di Inggris menjadi mata-mata untuk kepentingan rezim Putin," ujar seorang sumber kepada The Sun.
Saat ini pria tersebut terus masih ditahan dan diobservasi di kantor polisi.
Penangkapan pria itu merupakan hasil investigasi kelompok spesial polisi London kontra terorisme serta badan kontra intelijen Inggris MI5.
Unit pemburu mata-mata di Inggris telah berada dalam status waspada akan aksi agen Rusia yang berpotensi melakukan serangan siber karena sikap pemerintah Inggris yang pro Ukraina.
Di sisi lain, Dinas Keamanan Ukraina (SBU) menahan agen propaganda Kremlin di Kyiv.
Agen tersebut ditugaskan untuk menyebarkan informasi palsu mengenai invasi Rusia di Ukraina.
Ia membuat beberapa media online di Ukraina dan menggunakannya untuk mendoktrin masyarakat.
Informasi ini dibagikan oleh press center SBU pekan ini seperti dikutip TribunWow.com dari Kyiv Post, Sabtu (11/6/2022).
Menurut laporan tersebut, tersangka yang ditangkap itu merupakan penduduk kota Kyiv.
Tindakannya diawasi oleh dinas khusus negara Rusia untuk menyebarkan gagasan tentang operasi militernya di Ukraina sejauh dan seluas mungkin.
Melalui unggahan tersebut, sang agen diminta untuk meyakinkan masyarakat bahwa Rusia membawa tujuan damai.
Untuk melakukan ini, warga Kyiv itu ditugaskan membuat lebih dari 20 media online yang berisi pembenaran agresi bersenjata Federasi Rusia.
Selain itu, cuplikan-cuplikan palsu tentang Angkatan Bersenjata Ukraina dipublikasikan dalam upaya untuk mengacaukan situasi negara.
Adapun total audiens sumber daya ini berjumlah lebih dari 2,2 juta pengguna per bulan.
Sebagai hasil dari penggerebekan resmi, SBU menemukan dan menyita peralatan komputer, flash drive, perangkat seluler, dan dokumen yang mengkonfirmasi aktivitas ilegal itu.
Penyelidik SBU dikabarkan telah menahan agen tersebut berdasarkan Bagian 3 Pasal 436-2 KUHP Ukraina terkait dengan propaganda perang.
Pasal ini memberikan hukuman penjara hingga lima tahun dengan kemungkinan penyitaan properti.
Sebelumnya, konflik siber yang terjadi akibat perang antara Ukraina dan Rusia disebut-sebut masih berpotensi semakin meningkat.
Peringatan ini disampaikan oleh Rob Joyce selaku Direktur Keamanan Siber di Agensi Keamanan Nasional alias National Security Agency (NSA) Amerika Serikat (AS).
Sampai saat ini, belum pernah terjadi serangan siber besar-besaran oleh Rusia.
Baca juga: Ulangi Insiden Mariupol, Rusia Serang Warga yang Berlindung di Pabrik Kimia Azot Ukraina Timur
Dikutip TribunWow.com dari bbc.com, kendati demikian Joyce mengaku khawatir akan terjadinya serangan siber dari Rusia.
"Saya masih sangat khawatir tentang ancaman yang muncul dari kondisi Rusia-Ukraina," kata Joyce.
Joyce sendiri terkejut karena Rusia tidak serta merta melakukan serangan siber besar-besaran untuk melumpuhkan infrastruktur Ukraina di tengah konflik ini.
Menurut Joyce, serangan siber tidak dilakukan sekali dalam skala besar namun secara terus menerus.
Ia mengungkit bagaimana Rusia menyebarkan sembilan jenis virus yang dapat menghapus sistem komputer.
Pada Selasa (10/5/2022) kemarin, AS, Inggris, Uni Eropa, dan negara-negara lainnya menuding Rusia melakukan serangan ke satelit komunikasi yang digunakan oleh pasukan militer Ukraina.
Serangan ini kemudian disebut turut berdampak kepada warga sipil.
Sejauh ini Rusia tergolong tenang dan tidak melakukan serangan siber seusai menerima sanksi dari perusahaan-perusahaan negara-negara barat.
Namun beberapa pejabat menyampaikan kepada BBC, mereka khawatir apabila efek sanksi mulai terasa nyata terhadap perekonomian Rusia, maka bukan tidak mungkin Rusia akan melakukan serangan siber ke perusahaan-perusahaan barat.
Di sisi lain, Google's Threat Analysis Group (Kelompok analisis ancaman milik Google) melaporkan adanya usaha peretasan ke jaringan NATO.
Peretasan tersebut diklaim dilakukan oleh kelompok berbasis Rusia.
Selain NATO, ada jaringan militer milik sejumlah negara Eropa timur yang juga mendapat ancaman peretasan.
Dilansir TribunWow.com dari Euronews, Google's Threat Analysis Group merilis laporan tersebut pada Rabu (30/3/2022).
Disebutkan bahwa peretas Rusia baru-baru ini berusaha untuk menembus jaringan NATO dan militer beberapa negara Eropa timur.
Namun, laporan itu tidak mengatakan militer mana yang menjadi sasaran peretasan.
Google menyebut aksi itu sebagai kampanye phishing kredensial yang diluncurkan oleh kelompok berbasis di Rusia bernama Coldriver, atau Callisto.
"Kampanye ini dikirim menggunakan akun Gmail yang baru dibuat ke akun non-Google, sehingga tingkat keberhasilan kampanye ini tidak diketahui," bunyi laporan itu.
Akan tetapi, hingga saat ini, NATO tidak segera bersedia untuk mengomentari laporan tersebut.
Sementara Rusia, yang sekarang berada di bawah sanksi ekonomi Barat akibat invasinya ke Ukraina, terus membantah tuduhan atas serangan siber terhadap sasaran-sasaran Barat.
Pada tahun 2019, perusahaan keamanan siber Finlandia F-Secure Labs menggambarkan Callisto sebagai aktor ancaman yang tidak dikenal.
Kelompok tersebut dikatakan tertarik pada pengumpulan intelijen terkait dengan kebijakan luar negeri dan keamanan di Eropa.
Menurut Google, kelompok itu juga menargetkan Pusat Keunggulan NATO (NATO Centre of Excellence), tanpa ada penjelasan lebih lanjut.
Dalam sebuah pernyataan, bagian NATO tersebut tidak secara langsung membahas laporan Google tetapi sempat menyinggung hal serupa.
"Kami melihat aktivitas siber berbahaya setiap hari," bunyi keterangan Pusat Keunggulan NATO (NATO Centre of Excellence).
Adapun menurut laporan Google, Calisto meluncurkan aksi phishing kredensial dalam dua minggu terakhir.
Kelompok ini menargetkan beberapa LSM dan think tank yang berbasis di AS, militer negara Balkan, dan kontraktor pertahanan yang berbasis di Ukraina.
Namun, untuk pertama kalinya, TAG mengamati aksi Callisto yang menargetkan militer beberapa negara Eropa Timur, serta Pusat Keunggulan NATO.
Tingkat keberhasilan peretasan ini tidak diketahui, karena aksi tersebut dijalankan menggunakan akun Gmail yang baru dibuat yang dikirim ke akun non-Google.
Google menambahkan bahwa tidak ada akun Gmail yang berhasil disusupi selama peretasan berlangsung.
Baca juga: Tentara Rusia Sakit Diduga Kena Radiasi Nuklir Chernobyl, sempat Masuki Zona Terlarang
Baca juga: Bantah Sukarela, Zelensky Sebut Rusia Pilih Mundur dari Kiev Lantaran Dikalahkan Tentara Ukraina
Putin Diserbu Hacker Anonymous
Kelompok hacker bernama Anonymous telah mendeklarasikan perang cyber/siber terhadap Rusia.
Deklarasi ini diumumkan pada hari Jumat (25/2/2022) atau satu hari seusai Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan operasi militer spesial terhadap Ukraina pada Kamis (24/2/2022).
Sebuah akun media sosial yang mengatasnamakan Anonymous menyatakan para hacker yang tergabung di bawah Anonymous kini akan menyerang pemerintahan Rusia.
Diberitakan oleh media Rusia RT.com, sejumlah website milik pemerintahan Rusia telah menjadi korban.
Website tersebut mengalami gangguan untuk diakses hingga terpaksa harus dimatikan atau offline karena serangan para hacker.
Situs yang telah menjadi korban serangan para hacker di antaranya adalah situs milik pemerintah Rusia, situs milik Kementerian Pertahanan Rusia hingga kantor berita Rusia Today (RT.com).
Dulu sebelum menyerang Rusia, grup hacker Anonymous juga pernah menyerang intelijen Amerika Serikat yakni Central Inteligence Agency (CIA).
Sementara itu, terkait kebijakan Putin melakukan invasi, ternyata tidak semua masyarakat di Rusia setuju.
Fakta ini disampaikan oleh Dubes RI untuk Rusia, Jose Tavares dalam acara Breaking News tvOne, Jumat (25/2/2022).
Jose menjelaskan bahwa saat ini masyarakat di Rusia terbagi menjadi dua kubu.
"Sebagian besar mendukung pemerintahnya, terutama masuknya militer atau special military operation di Donbas," jelas Jose.
"Namun ada juga masyarakat yang menentang kalau serangannya itu sampai meluas ke wilayah Ukraina lainnya."
"Jadi ada perbedaan di antara masyarakat Rusia sendiri," ungkapnya.
Sementara itu, dikutip dari Aljazeera.com, sebanyak ribuan masyarakat Rusia pada Kamis (24/2/2022) malam telah melakukan unjuk rasa anti perang.
Demonstrasi ini dilakukan di Moskow dan Saint Petersburg.
Buntut dari demonstrasi ini, sebanyak 1.400 demonstran diamankan oleh pihak kepolisian.
Diberitakan oleh Aljazeera.com, sebelum invasi ke Ukraina terjadi, pemerintahan Putin telah menciduk tokoh-tokoh oposisi, mulai dari aktivis, politisi hingga demonstran.
Satu di antaranya adalah pimpinan oposisi bernama Alexey Navalny yang kini dipenjara selama dua tahun seusai mengorganisir demo terhadap Putin.
Dalam demonstrasi anti perang di Moskow pada Kamis (24/2/2022), peserta demo meneriakkan anti perang dan protes terhadap Putin.(TribunWow.com/Anung/Via)