Breaking News:

Konflik Rusia Vs Ukraina

Asetnya Dibekukan, Apa yang Terjadi jika Rusia Gagal Bayar Utang Negara yang Jatuh Tempo?

Sebagai negara besar, Rusia tak luput dari utang luar negeri yang kabarnya akan segera jatuh tempo.

Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Tiffany Marantika Dewi
AFP/Alexey Nikolski
Presiden Rusia Vladimir Putin. Terbaru, Rusia terancam gagal bayar utang luar negeri akibat sanksi yang dikenakan, Rabu (16/3/2022) 

TRIBUNWOW.COM - Sebagai negara besar, Rusia tak luput dari utang luar negeri yang kabarnya akan segera jatuh tempo.

Namun masalahnya, Rusia saat ini tak dapat mengakses aset miliknya yang dibekukan, pun melakukan transaksi internasional.

Pasalnya, Rusia tengah dikenai sanksi global oleh sejumlah negara akibat invasinya ke Ukraina.

Kazan, Kota di Rusia
Kazan, Kota di Rusia (visitrusia.org.uk)

Baca juga: Kiev Siaga 36 Jam Hadapi Gempuran Tentara Rusia, Walikota Vitali Klitschko Unggah Peringatan Darurat

Baca juga: Apotek Rusia Kekurangan Pasokan Obat-obatan, Imbas Sanksi Global akibat Invasi ke Ukraina

Dilansir Aljazeera, Rabu (16/3/2022), Rusia harus membayar bunga 117 juta USD (sekitar Rp 1,6 triliun) pada hari ini atau berisiko gagal bayar utangnya.

Sementara 615 juta USD (sekitar Rp 8,7 triliun) akan ditagihkan pada akhir bulan.

Utang tersebut berasal dari dua obligasi negara yang berdenominasi dolar.

Sebagai informasi, sanksi yang dikenakan pada Rusia telah membekukan lebih dari setengah aset bank sentral senilai 300 miliar USD (sekitar Rp 4,2 kuadriliun).

Adapun Penduduk Rusia dan perusahaan Rusia berutang sekitar 150 miliar USD (sekitar Rp 2 kuadriliun) dalam bentuk mata uang asing.

Sanksi tersebut juga membuat nilai tukar rubel anjlok sampai 35 persen terhadap dolar AS.

Presiden Rusia Vladimir Putin meyakinkan bahwa Moskow akan melakukan pembayaran, tetapi dalam rubel lantaran sanksi tidak memungkinkan penyelesaian menggunakan dolar.

Gagal bayar utang luar negeri Rusia akan menjadi yang pertama sejak Bolshevik gagal mengakui utang Tsar setelah revolusi 1917.

Bila tak bisa membayar saat jatuh tempo, Rusia akan diberikan masa tenggang 30 hari untuk obligasi khusus ini.

Namun, jika Moskow tetap tidak melakukan pembayaran, lembaga pemeringkat kredit kemungkinan akan menganggapnya gagal bayar dan pemegang obligasi akan mulai bernegosiasi.

Tetapi negosiasi itu tampaknya tidak menjanjikan mengingat ekonomi Rusia yang tersedak dan isolasi yang semakin meningkat.

Jika benar-benar tak bisa melunasi utangnya sesuai jatuh tempo, maka investor yang tersisa dikhawatirkan memilih hengkang dari negara tersebut.

Hal ini akan semakin membuat Rusia terisolasi dari dunia dan mendapat kerugian signifikan.

Apalagi jika pemerintah tak bisa dengan baik menangani hal tersebut, perusahaan Rusia lainnya juga dikhawatirkan akan ikut terpuruk.

Dampak tersebut akan membuat nilai tukan Rubel semakin anjlok dan berefek pada penurunan daya beli masyarakat.

Jika dilihat secara keseluruhan, pemerinta Rusia sebenarnya tak terlalu banyak memiliki utang luar negeri.

Dari total 150 miliar USD (sekitar Rp 2 kuadriliun), hanya sekitar 45 miliar USD yang dimiliki pemerintah, sementara sisanya merupakan utang dari perusahaan dan bank Rusia.

Perusahaan yang memiliki utang terbesar adalah raksasa minyak Gazprom, tetapi sektor minyak dan gas Rusia telah cukup terisolasi dari sanksi Barat.

Namun, Rusia mengalami kesulitan menjual minyak mereka, kecuali dengan diskon tinggi karena kekhawatiran tentang pelanggaran sanksi.

Baca juga: Rusia Balas Dendam Kenakan Sanksi pada 13 Pejabat AS, Mulai dari Joe Biden sampai Hillary Clinton

Baca juga: Presiden Ukraina Zelensky Sebut Permintaan Rusia Semakin Realistis, Sepakat Damai?

Prediksi Putin akan Dikudeta

Mantan direktur jenderal Royal United Services Institute, Michael Clarke, menuturkan spekulasi seputar invasi Rusia ke Ukraina.

Ia menyinggung penggulingan kekuasaan Presiden Rusia Vladimir Putin yang mungkin terjadi dengan cara kudeta.

Dilansir TribunWow.com dari kanal berita Sky News, Rabu (9/3/2022), Clarke menilai Putin telah membuat kesalahan strategis besar-besaran.

Hal ini terlihat dari hambatan yang dialami tentara Rusia untuk menguasai Kiev setelah 13 hari invasi dijalankan.

Sementara Putin dikabarkan mulai depresi karena operasi militer yang dijalankannya tak berjalan sesuai rencana.

Apalagi ditambah tekanan internasional yang menjatuhkan berbagai sanksi ke Rusia.

Hal ini dinilai menjadi jaminan bahwa pemerintahan Putin tak akan berjalan lebih lama lagi.

"Saya pikir Putin sudah selesai, dia akan mundur dengan cepat atau mungkin dalam dua atau tiga tahun," kata Clarke.

"Tidak ada pemulihan dari ini, tidak ada jalan kembali untuknya."

Clarke mengatakan tidak mungkin ada revolusi besar-besaran di Rusia karena tidak ada mekanisme untuk itu.

Dan Putin dianggap masih cukup populer di kalangan warga Rusia biasa di bagian tengah dan timur negara tersebut.

Namun warga kelas menengah cenderung tidak menyukainya.

Sementara para oligarki kini mulai khawatir karena Putin kini mengganggu kemampuan mereka untuk menghasilkan uang.

Pasalnya, akibat invasi ke Rusia, sejumlah perusahaan maupun individu Rusia dikenai sanksi global.

Sementara sejumlah perusahaan internasional yang berkerjasama dengan para taipan itu memilih hengkang dari Rusia.

Belum lagi sanksi pemutusan hubungan antara bank Rusia dengan SWIFT yang menyebabkan transaksi internasional tak bisa dilakukan.

Nilai tukar Rubel pun anjlok besar-besaran sementara sejumlah kerugian diderita negara dan rakyat Rusia.

"Nasib Putin akan menjadi seperi Julius Caesar. Tidak harus berupa pembunuhan fisik, tetapi seseorang akan menusukkan pisau secara politis," ujar Clarke.

"Ketika satu orang melakukannya, mereka semua akan bergabung. Itulah nasib yang sekarang menantinya."

"Dan hanya China yang bisa menyelamatkannya," imbuhnya.(TribunWow.com/Via)

Berita terkait Konflik Rusia Vs Ukraina

Tags:
RusiaUkrainaUtang NegaraVladimir Putin
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved