Terkini Daerah
Rudapaksa 12 Santriwati di Bandung, Pakar Nilai HW Tak Pantas Disebut Guru: Dia Penculik
HW, kata dia, lebih pantas disebut penculik karena para korban yang diduga lebih dari 12 murni diculik dan dieksploitasi oleh pelaku.
Penulis: Afzal Nur Iman
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Pakar Hukum dari Universitas Katolik Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, menilai bahwa HW (36) pelaku rudapaksa anak di bawah umur yang merupakan santriwati di pondoknya di Kota Bandung, Jawa Barat, tak pantas disebut sebagai guru.
HW, kata dia, lebih pantas disebut penculik karena para korban yang diduga lebih dari 12 murni diculik dan dieksploitasi oleh pelaku.
"Ini memang penculikan saja dari keluarganya untuk dieksploitasi sama dia," kata Asep melalui sambungan telepon, Selasa (14/12/2021), dikutip dari Tribun Jabar.
Baca juga: Fakta Baru Kasus Guru Rudapaksa 21 Remaja, Korban Bukan Santriwati tapi Diculik dan Dieksploitasi
Baca juga: Ridwan Kamil Khawatir Kasus Pencabulan Santriwati Jadi Konten YouTuber: Cari Sensasi Tambahan
Meski awalnya orangtua korban menyerahkan anaknya secara sukarela kepada pelaku, hal itu tetap bisa dikategorikan sebagai penculikan.
Hal itu berdasarkan fakta di lapangan di mana HW hanya memberi iming-iming yang kenyataannya berbeda.
"Ini bukan pesantren, mereka bukan santriwati. Mereka anak-anak dijemput, diiming-imingi, dan tidak ada pengajian atau pendidikan di situ. Salat saja tidak diajarkan," kata dia.
Menanggapi hebohnya kasus ini, ia kembali mengingatkan agar masyarakat menahan diri untuk tidak mencari tahu atau melacak korban untuk kepentingan tertentu.
Menurut dia, langkah polisi dan berbagai pihak untuk tidak mengekspos kasus ini merupakan langkah yang tepat.
Seperti diketahui kasus ini sudah dilaporkan sejak Mei 2021 dan baru menghebohkan di tengah masa persidangan.
Hal ini mengingat bahwa korban masih di bawah umur.
Baca juga: Presiden Jokowi Soroti Kasus Guru Rudapaksa Santriwati di Bandung, Instruksikan Tindak Tegas
Identitas korban perlu dilindungi, sedangkan ketika kasusnya terekspos, para korban akan diketahui karena akan dijadikan saksi dalam persidangan.
Bahkan, menurut dia seharusnya identitas lokasi dan pelaku juga tidak perlu diekspos.
"Ada etika dalam hukum acara kejahatan kesusilaan. Satu di antaranya memang tidak diekspos. Bahkan untuk beberapa kasus, pelakunya pun tidak diekspos," katanya.
"Karena pada saat ia dihadapkan di pengadilan, saksi itu juga kan harus datang. Untuk menjadi saksi dalam kasus ini kan tidak mudah karena harus melihat pelakunya," lanjutnya.
Hal itu akan berdampak pada proses persidangan yang akan dijalani oleh pelaku.