Konflik di Afghanistan
Larangan Taliban Buat Harga Opium Melonjak, Pedagang di Afghanistan: Haram tapi Tak Ada Pilihan Lain
Larangan Taliban picu lonjakan harga opium di pasaran. Para pedagang dan petani tak bisa tinggalkan pekerjaan mereka, meski tahu haram dalam Islam.
Penulis: Alma Dyani Putri
Editor: Elfan Fajar Nugroho
TRIBUNWOW.COM – Perekonomian Afghanistan berada di ambang kehancuran dengan ancaman kelaparan hingga pemadaman listrik saat musim dingin yang mengintai warga.
Beberapa orang Afghanistan kehilangan pekerjaan dan tidak bisa mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Para pedagang di pasar opium Afghanistan, menceritakan alasan mereka tetap menjual barang yang sebenarnya diharamkan dalam Islam.

Baca juga: Ratusan Warga Padati Kantor Paspor Afghanistan seusai Diumumkan akan Segera Dibuka Lagi oleh Taliban
Baca juga: Taliban Tak Segera Bayar Tagihan Listrik, Afghanistan Terancam Bisa Kembali ke Abad Kegelapan
Mereka mengatakan sejak pengambilalihan negara itu oleh Taliban pada pertengahan Agustus lalu, harga opium melonjak tajam hingga tiga kali lipat.
Amanullah, nama samaran salah satu pedagang, mengeluarkan sejumlah opium dari kantong plastik besar berisi empat kilogram produk andalannya itu.
Resin opium yang diambilnya cepat meleleh dan mendidih ketika dipanaskan.
Dengan cara itu, Amanullah dan rekannya, Mohammad Masoom, dapat menunjukkan kepada pembeli bahwa opium yang mereka jual adalah murni.
"Itu haram (dilarang) dalam Islam, tapi kami tidak punya pilihan lain," kata Masoom di salah satu pasar Howz-e-Madad, Provinsi Kandahar, dikutip dari AFP.
Masoom mengatakan penyelundup narkoba sekarang membayarnya Rp 1 juta per kilogram opium.
Sementara di Eropa, dia memiliki nilai hingga lebih dari Rp 713 ribu per gram.
Di sisi lain, seorang petani opium di Afghanistan, Zekria, juga mengkonfirmasi peningkatan harga tersebut.
Petani yang juga menggunakan nama samaran itu, mengatakan bisa mendapatkan lebih dari Rp 2 juta per kilogram opium, naik Rp 626 ribu dari masa sebelum kekuasaan Taliban.
Zekria menyebut harga opiumnya bisa lebih tinggi dari milik Amanullah karena dia memetik bunga opium pada awal musim panen, sehingga barang dagangannya itu lebih terkonsentrasi dan kualitasnya lebih baik.
Para pedagang opium di pasar Afghanistan yang membicarakan kenaikan harga produk mereka, menyepakati pernyataan juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, pada September lalu menjadi satu di antara penyebab melonjaknya harga narkoba.
Zabihullah Mujahid mengatakan tidak ingin melihat narkotika jenis apa pun diproduksi di Afghanistan.
Namun, Mujahid menambahkan Afghanistan membutuhkan dukungan internasional untuk membuat petani beralih dari perdagangan narkoba.
Isu terkait larangan penanaman opium menyebar ke seluruh provinsi.
Pembeli bersiap menghadapi kelangkaan opium yang mengancam.
“Sehingga harga opium melonjak,” kata Zekria.
Selama masa pemerintahan Taliban sebelumnya, sekitar tahun 2000, mereka melarang penanaman opium.
Taliban menyatakannya dilarang dalam Islam.
Mereka juga hampir membasmi tanaman tersebut.

Namun, setelah penggulingan Taliban yang dipimpin Amerika Serikat (AS) pada 2001, pertanian opium kembali berkembang.
Bahkan ketika negara-negara barat menggelontorkan jutaan dolar untuk mendorong pertanian alternatif, seperti kunyit.
Saat melakukan pemberontakan melawan pimpinan AS, Taliban juga mengandalkan penjualan opium untuk membiayai upaya tersebut.
Baca juga: Laporan Rahasia Terungkap, Bank Sentral Afghanistan Sudah Kehabisan Uang sebelum Kemenangan Taliban
Baca juga: Bom Meledak di Masjid Kabul saat Upacara Pemakaman Ibu Juru Bicara Taliban, 5 Orang Tewas
Lonjakan harga di pasaran dan kondisi perekonomian yang memburuk di Afghanistan, membuat para petani serta pedagang opium tidak bisa meninggalkan pekerjaan mereka.
"Kami tidak dapat menumbuhkan apa pun saat ini," kata Masoom.
Zekria, satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga yang terdiri dari 25 orang, menyetujui pendapat itu.
"Tanpa opium, saya bahkan tidak bisa menutupi pengeluaran saya," ujarnya.
“Tidak ada solusi lain kecuali masyarakat internasional membantu kami".
Kepala Departemen Kebudayaan Provinsi Kandahar, Maulvi Noor Mohammad Saeed, mengatakan bahwa "produksi opium adalah haram dan buruk bagi manusia".
Tetapi, pelarangan produksi itu akan tergantung pada bantuan yang diterima oleh Afghanistan.
"Jika masyarakat internasional siap membantu para petani untuk tidak menanam opium, maka kami akan melarang opium,” katanya.
Sebelumnya, sekitar 3.000 kilogram narkotika dari Afghanistan diselundupkan ke Gujarat, India, dikutip dari India Today, Rabu (22/9/2021).
Direktorat Intelijen Pendapatan India menyita kiriman obat-obatan terlarang dalam jumlah besar pada 17 September.
Mereka menangkap tujuh orang, termasuk empat warga negara Afghanistan.
Penyitaan ini menimbulkan pertanyaan apakah Taliban pernah serius untuk menghilangkan sumber pendapatan dan pendanaan terbesar mereka, sebagaimana yang diungkapkan juru bicaranya, Zabihullah Mujahid.
Afghanistan mengendalikan 80 hingga 90 persen pasokan opium dan heroin di dunia, menurut Kantor PBB untuk Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC).
Terdapat sekitar 60 ribu hektar lahan di Afghanistan digunakan untuk menanam bunga opium pada 1990-an.
Jumlah itu meningkat lebih dari empat kali lipat setelah tahun 2017.
Taliban, sesuai laporan SIGAR, menghasilkan 60 persen dari total pendapatan tahunannya melalui perdagangan narkoba.
Ekspor opium dan heroin tahunan berkisar antara Rp 21 triliun hingga Rp 42 triliun.
Para ahli percaya janji Taliban untuk melarang produksi narkotika, hanya untuk mengamankan dukungan dari negara-negara barat.
Sementara, mereka mungkin tidak pernah menutup bisnis tersebut, sebagai sumber pendapatan terbesar Taliban yang dapat digunakan untuk bertahan hidup hingga membeli persenjataan. (TribunWow.com/Alma Dyani P)
Berita terkait Konflik di Afghanistan lain