Wacana Presiden 3 Periode
Yusril Ihza Mahendra Tanggapi Wacana Presiden 3 Periode: Tampaknya Sulit karena Ada Faktor Trauma
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra angkat bicara mengenai wacana masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Editor: Maria Novena Cahyaning Tyas
TRIBUNWOW.COM - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra angkat bicara mengenai wacana masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Diketahui sebelumnya, Amien Rais curiga, rezim Presiden Jokowi akan mendorong adanya sidang MPR untuk melakukan perubahan terhadap dua pasal.
Satu di antara dua pasal itu, kata Amien Rais akan memberikan hak bagi presiden bisa dipilih tiga kali.
Baca juga: Bahas Isu Presiden 3 Periode, Fahri Hamzah Ungkit Soekarno dan Soeharto: Berakhirnya Tragis
Menyikapi hal tersebut, Yusril Ihza Mahendra mengatakan aturan Pasal 7 UUD 1945 yang diperdebatkan itu sebenarnya sudah ada sejak lama.
"Ketentuan dalam Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen yang mengatakan 'Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali' memang bersifat multi tafsir."
"Di masa Presiden Soekarno jabatan itu dipegang lebih dari sepuluh tahun."
"Di masa Presiden Soeharto bahkan lebih dari 30 tahun, setelah dipilih kembali setiap 5 tahun tanpa ada batasnya," ujar Yusril, saat dikonfirmasi, Senin (15/3/2021).
Akan tetapi, Yusril mengatakan di era reformasi, norma Pasal 7 UUD 1945 itu diamandemen sehingga berbunyi 'Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan'.
Dengan amandemen itu, Yusril menegaskan sifat multi tafsir yang awalnya ada pun menjadi hilang.
Presiden dan Wakil Presiden pun hanya menjabat maksimum dua kali periode jabatan, yakni selama 10 tahun.
Baca juga: Soal Isu Jokowi 3 Periode, Fahri Hamzah Duga Pemicunya Ada Parpol Panik Takut Kalah di 2024
"Tidak ada tafsir lain lagi."
"Dengan perubahan di atas, maka mustahil akan ada seorang Presiden memegang jabatannya sampai tiga periode, kecuali lebih dahulu dilakukan amandemen terhadap ketentuan Pasal 7 UUD 45 tersebut," ungkapnya.
Meski begitu, Yusril mengatakan perubahan UUD memang bisa terjadi melalui 'konvensi ketatanegaran', di mana teks sebuah pasal tidak berubah, tetapi praktiknya berbeda dengan apa yang diatur di dalam teks.
Dia mencontohkan ketika sistem pemerintahan Indonesia berubah dalam praktik dari sistem Presidensial ke sistem Parlementer pada bulan Oktober 1945.
Menurutnya perubahan saat itu dilakukan tanpa amandemen UUD, namun dalam praktiknya perubahan itu berjalan dan diterima rakyat.
"Namun di zaman sekarang nampaknya akan sulit untuk menciptakan konvensi semacam itu, mengingat banyak faktor trauma."