Terkini Daerah
Ungkap Fakta Anak-anak Muda Dibunuh di Papua, Haris Azhar: Enggak Ada Respek Orang Jakarta ke Papua
Direktur Eksekutif Lokataru sekaligus penggiat HAM Haris Azhar menanggapi pelanggaran HAM yang kerap terjadi di Papua.
Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Maria Novena Cahyaning Tyas
TRIBUNWOW.COM - Direktur Eksekutif Lokataru sekaligus penggiat HAM Haris Azhar menanggapi pelanggaran HAM yang kerap terjadi di Papua.
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam tayangan Dua Sisi di TvOne, Kamis (3/12/2020).
Sebelumnya diberitakan Tokoh Pembebasan Papua Barat Benny Wenda mendeklarasikan kemerdekaan di wilayah tersebut dan menyatakan diri sebagai presiden sementara.

Baca juga: Di Mata Najwa, Haris Azhar Ngaku Tak Respek pada Jokowi soal Demo: Memobilisasi Pimpinan Daerah
Menanggapi hal itu, Haris Azhar menilai pernyataan Benny Wenda sebagai ekspresi dari penderitaan menahun yang dirasakan masyarakat Papua, terutama terhadap isu pelanggaran HAM.
"Yang saya lebih tertarik mau melihat visual-visual Benny Wenda yang dibilang tiap tahun, ada yang saya melihatnya sudah tiap hari," ungkap Haris Azhar.
Ia menilai pernyataan kemerdekaan yang kerap disuarakan tokoh Papua bukan hanya soal memisahkan diri dari Indonesia, melainkan pernyataan terhadap penderitaan yang sudah dirasakan bergenerasi-generasi.
"Ini bukan soal merdeka atau tidak merdeka, tetapi itu adalah memori pasionis. Bagaimana sebuah penderitaan hidup berdekade, meluas, masuk ke relung-relung kampung," papar aktivis HAM ini.
Haris memberi contoh kasus penembakan seorang pendeta di Intan Jaya.
Ia mengaku sempat mendampingi investigasi kasus penyerangan masyarakat sipil sekaligus tokoh agama tersebut.
"Saya kemarin kebetulan baru pulang dari Intan Jaya, nerusin tim investigasi masyarakat sipil yang tentang penembakan," ungkap Haris.
"Di Intan Jaya itu ada delapan distrik, empatnya sudah kosong. Ini kabupaten, setengahnya kosong," lanjutnya.
Baca juga: Vanuatu Soroti HAM di Papua, Tantowi Yahya Balas: Mereka Sendiri Banyak, Kayak Kacamata Kuda Saja
Sejak peristiwa itu, distrik-distrik yang kosong lebih banyak dihuni personel polisi dan tentara.
Tidak hanya kasus tersebut, penyerangan warga sipil juga kerap terjadi.
"Dilihat lagi dari angka kekerasan. Pendeta dibunuh, katekis dibunuh, anak-anak muda dibunuh, ditembak," katanya.
Ia menilai sikap masyarakat Papua adalah buntut dari kebijakan pemerintah pusat yang tidak berorientasi ke warga setempat.