Terkini Daerah
Kisah Mantan Preman yang Dulu Suka Mabuk, Kini Dirikan Gubuk Baca agar Tak Ada Anak Putus Sekolah
Begini kisah mantan preman di Malang yang akhirnya mendirikan Gubuk Baca Lereng Busu. Melalui gubuk baca, banyak anak-anak yang bisa belajar.
Editor: Rekarinta Vintoko
Pada tahun 2015 ke belakang atau sebelum Gubuk Baca berdiri, rata-rata warga di kampung itu hanya lulusan SD.
Mereka yang kebanyakan menjadi peternak sapi perah enggan menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.
Begitu juga dengan anak-anaknya, selepas SD mereka memilih untuk membantu orangtua beternak sapi.
“Orangtuanya kan banyak peternak, kalau sudah lulus SD, apalagi laki-laki, tidak disarankan untuk sekolah malahan. Malah disarankan untuk nyari rumput,” katanya.
• Kata Menaker soal BLT Subsidi Gaji Rp 600 Ribu bagi Pekerja Lewat Rekening Bank Swasta, Kapan Cair?
Pola pikir masyarakat seperti itu membuat angka putus sekolah dari generasi ke generasi cukup tinggi.
Karena itu, selain untuk memberikan pembelajaran, Gubuk Baca juga memotivasi anak-anak supaya sekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan ke perguruan tinggi.
Seiring dengan berkembangnya Gubuk Baca, warga juga mulai termotivasi untuk menyekolahkan anaknya lebih tinggi lagi.
Motivasi warga itu disebabkan oleh kedatangan berbagai kalangan ke Gubuk Baca. Seperti mahasiswa untuk mengabdikan diri mengajari anak-anak.
“Setelah kita berpartisipasi dengan belajar seperti ini, lalu kedatangan mahasiswa, mereka termotivasi untuk sekolah lanjutan. Orangtuanya secara tidak langsung juga mulai sadar edukasi,” katanya.
Saat ini sudah ada sekitar 30 warga di kampung tersebut yang kuliah di berbagai perguruan tinggi. Anak kampung tidak lagi berhenti setelah tamat SD.
Kusnadi berharap akan lebih banyak lagi generasi di kampungnya yang berpendidikan tinggi.
“Biar kita yang tua-tua ini pendidikannya rendah. Yang penting adikku, anakku, generasi setelahku bisa sampai pada jenjang pendidikan yang tinggi biar mereka tidak kuper (kurang pergaulan), punya pengalaman luas, punya pendidikan yang lebih baik dan karir yang lebih baik juga,” katanya.
Kusnadi memiliki keyakinan, solusi untuk memecah kemiskinan adalah dengan pendidikan.
Berkaca dari pengalamannya yang hanya lulusan SMP, dia kerap ditolak saat mengajukan lamaran pekerjaan hingga akhirnya bekerja serabutan.
Otodidak
Kusnadi mengajarkan tari dan lukis kepada anak-anak di Gubuk Baca. Ilmu itu dia pelajari secara otodidak.
Untuk pelajaran formal, Kusnadi menyerahkannya kepada para pendamping.
“Saya awalnya terpaksa karena anak-anak di sini mau ke sanggar banyak yang tidak punya uang. Jadi mau tidak mau saya harus bisa nari. Harus bisa apapun supaya mereka minta apapun bisa saya turuti. Saya tidak bisa gambar, saya belajar, setelah saya bisa anak-anak tidak usah kemana-mana. Saya lesi saja,” katanya.
Sampah rumah sebagai penopang
Belum lama ini, Kusnadi terpikir memanfaatkan sampah untuk menopang biaya operasional Gubuk Baca.
Anak-anak diminta mengumpulkan sampah yang ada di rumah mereka dan membawanya ke Gubuk Baca saat akan belajar di hari Minggu.
Anak-anak yang suka dengan kerajinan tangan diajari membuat kerajinan dengan sampah tersebut.
Misalnya mengolah sampah menjadi sebuah kerajinan ecobricks, repelika bunga anggrek, wadah pensil dan perhiasan.
“Minimal anak-anak bawa sampah dari rumah untuk mengurangi sampah di rumahnya,” katanya.
Hasil dari penjualan kerajinan tangan untuk membeli kapur tulis dan alat tulis lainnya untuk menunjang pembelajaran.
Sedangkan untuk buku, Gubuk Baca mendapat bantuan dari berbagai kalangan.
Saat ini sudah terkumpul sekitar 300 hingga 400 buku yang bisa dipakai oleh anak-anak. Mulai dari buku pelajaran formal hingga buku yang berisi tentang cerita anak.
“Buku banyak dari kampus-kampus dan sekolah. Republik Gubuk juga mencarikan link untuk buku,” katanya. (Kompas.com/Andi Hartik)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dulu Suka Mabuk, Mantan Preman Kini Dirikan Gubuk Baca agar Tak Ada Anak Putus Sekolah"