Breaking News:

Terkini Nasional

Refly Harun Akui Diskusi 'Pemecatan Presiden' yang Diikutinya Sensitif: Alhamdulillah Tak Apa-apa

Refly Harun mengaku ikut serta menjadi pembicara dalam seminar online. Ia lantas menjelaskan soal seminar itu.

Penulis: Mariah Gipty
Editor: Lailatun Niqmah
Youtube/Refly Harun
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menjelaskan soal dirinya menjadi pembicara dalam seminar online "Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Masa Pandemi Covid-19" pada Senin (1/6/2020). 

TRIBUNWOW.COM - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menjelaskan soal dirinya menjadi pembicara dalam seminar online "Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Masa Pandemi Covid-19" pada Senin (1/6/2020).

Seminar online tersebut diikuti oleh Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat, Din Syamsuddin hingga Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana.

Dilansir TribunWow.com dari channel YouTube Refly Harun pada Selasa (2/6/2020), Refly mengatakan bahwa dirinya juga sempat khawatir akan seminar itu.

Refly Harun tertawa saat menanggapi isu dirinya ikut mendesak pemberhentian Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam webinar Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19, Senin (1/6/2020).
Refly Harun tertawa saat menanggapi isu dirinya ikut mendesak pemberhentian Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam webinar Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19, Senin (1/6/2020). (YouTube/Refly Harun)

Blak-blakan, Refly Harun Ungkit Masa Kelam Orde Baru: Sadar atau Tidak, Nuansa Itu saat Ini Ada

Sehingga, Refly mengaku sempat bertanya kepada pengundang apakah semua narasumber lain mengonfirmasi untuk hadir.

"Saya ketika diundang acara ini memerlukan untuk mengonfirmasi pada panitia apakah pembicara yang dilist ini akan datang semua."

"Mereka mengatakan beberapa di antaranya sudah konfirmasi, hampir 10 orang, pembicaranya memang 10 orang dan keynote speaker-nya," jelas Refly.

Setelah dikonfirmasi ternyata para pembicara memang datang semua.

"Dan saya cek salah satu pembicaranya apakah yang bersangkutan memang datang dan mengatakan iya," imbuhnya.

Refly mengaku harus berhati-hati lantaran teringat dengan seminar yang diadakan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) mengenai diskusi pemecatan presiden yang berujung teror.

"Kenapa begitu? Seminar ini walaupun kegiatan ilmiah kan ngeri-ngeri sedap, karena kemarin di UGM ada seminar yang mengambil judul yang sama mengenai impeachment, pemecatan, pemberhentian presiden itu diancam," kata Refly.

Soal Diskusi Pemecatan Presiden, Refly Harun Ungkit Turunnya Soekarno dan Gus Dur: Murni Politik

Namun, ternyata seminar yang diikuti bersama dengan Din Syamsuddinn itu tidak terjadi apa-apa.

"Saya menunggu reaksi kira-kira kalau seminar ini akan diapakan ternyata Alhamdullillah tidak terjadi apa-apa," ujarnya.

Pakar Hukum Tata Negara lulusan UGM ini mengatakan, jika terjadi keramaian di media sosial akibat seminar yang diikutinya adalah hal yang biasa.

"Kalaupun di dunia medsos, maya, terjadi pro dan kontra dengan kegiatan seminar ini biasa di suatu masyarakat yang demokratis," ujar dia.

Refly melanjutkan seminar yang baru diikutinya itu seminar yang biasa saja tidak mengandung unsur untuk menjegal presiden sama sekali.

"Tapi intinya adalah saya tidak melihat hal-hal yang luar biasa, yang mengarah ke pemberhentian presiden atau impeachment pada presiden pada seminar ini," ungkapnya.

Bahas soal Pemecatan Presiden, Refly Harun: Kalau Tidak Dapat Kepercayaan, Harusnya Tahu Diri

Lihat videonya mulai menit ke-3:43:

Pemakzulan Soekarno dan Gus Dur Dinilai Politis

Diskusi bertema pemecatan presiden yang diselenggarakan oleh sejumlah mahasiswa FH UGM dilatarbelakangi oleh adanya suara sebagian masyarakat yang ingin Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) turun karena dianggap tak bisa menangani Virus Corona (Covid-19).

Menanggapi hal tersebut, pakar hukum tata negara Refly Harun mengungkit kembali peristiwa diturunkannya presiden pertama RI Ir. Soekarno dan presiden keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Refly mengulas bahwa kedua presiden tersebut diturunkan karena alasan politis.

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun dalam kanal YouTube Refly Harun, Senin (1/6/2020). Ia turut mengomentari soal ramai pemberitaan batalnya seminar soal pemecatan presiden di masa pandemi.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun dalam kanal YouTube Refly Harun, Senin (1/6/2020). Ia turut mengomentari soal ramai pemberitaan batalnya seminar soal pemecatan presiden di masa pandemi. (Kolase (YouTube Kompastv) dan (YouTube Refly Harun))

 Ungkap Maksud Diskusi Pemecatan Presiden, Dosen FH UGM: Mereka Bermaksud Membela Presiden

Dikutip dari YouTube Refly Harun, Senin (1/6/2020), awalnya Refly membahas bahwa berdasarkan konstitusi yang berlaku di Indonesia, presiden memang bisa dimakzulkan.

Kemudian Mantan Komisaris Utama Pelindo I itu menyoroti soal alasan sebagian masyarakat ingin menurunkan Jokowi.

Berdasarkan latar belakang diskusi yang digelar oleh Constitutional Law Society (CLS) UGM, sebagian masyarakat ingin Jokowi turun karena dianggap kebijakannya dalam mengatasi Covid-19 tidak efektif.

"Presiden bisa saja diberhentikan, hanya persoalannya sekali lagi apakah cukup alasan untuk memberhentikan presiden karena isu ketidakpuasan sebagian masyarakat atas penanganan pandemi Covid-19," ucap Refly.

Selanjutnya Refly mengungkit alasan adanya pasal pemakzulan yang tercantum dalam Pasal 7 A UUD 1945.

Refly lalu menyinggung soal turunnya Ir. Soekarno dan Gus Dur.

"Karena memang pengalaman kita terhadap presiden Soekarno dan presiden Abdurrahman Wahid," kata dia.

Refly memaparkan bagaimana dua presiden tersebut diturunkan atau dimakzulkan karena alasan yang politis.

"Presiden Soekarno dijatuhkan oleh MPR, dimakzulkan atau diberhentikan oleh MPR pada tahun 1967 dalam sidang istimewa MPRS," ujar dia.

"Kemudian presiden Abdurrahman Wahid dijatuhkan pada sidang istimewa MPR tahun 2001."

Refly menekankan bagaimana tidak ada mekanisme hukum yang pasti untuk menilai apakah Soekarno dan Gus Dur benar-benar melanggar hukum atau tidak sehinga pantas dimakzulkan.

"Semuanya penilaian politik semua, karena tidak ada mekanisme hukum untuk menilai apakah tindakan dari tuduhan tersebut betul-betul merupakan suatu pelanggaran hukum atau cukup syarat konstitusional untuk memberhentikan seorang presiden," papar dia.

Ia menyebut alasan turunnya Soekarno dan Gus Dur semuanya murni karena alasan politis.

"Penilaiannya murni politik," ucap Refly.

Pria lulusan UGM itu mengatakan bagaimana pada saat itu DPR bisa memberikan peringatan yang berujung kepada penurunan ketika presiden melanggar Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Refly lalu menjelaskan bahwa tidak mungkin presiden bisa berlaku persis seperti apa yang tertulis di dalam GBHN.

"Padahal yang namanya GBHN itu tebalnya minta ampun."

"Tidak ada seorang presiden pun yang mampu menjalankan GBHN as it is (seperti yang tertulis -red) apa adanya," ucapnya.

"Sebagian besar dari isi GBHN itu adalah cita-cita yang ingin dicapai."

 Ulas Diskusi Pemecatan Presiden, Refly Harun: Kalau Dikatakan Makar, Saya Kira Sangat Keterlaluan

Refly lalu menyinggung bahwa di situasi pandemi seperti saat ini memang sulit untuk meraih tujuan negara.

"Dan untuk mencapai cita-cita itu tentu butuh effort, butuh energi, dan butuh dukungan yang sehat juga," kata dia.

"Jadi kalau misalnya di tengah Covid-19 ini, di tengah uang yang cekak, yang tergerus habis ya susah mencapai target-target," sambung Refly.

Merujuk dari kasus Soekarno dan Gus Dur, Refly mengatakan sistem pemakzulan saat ini tidak bisa dilakukan semata karena alasan kebijakan yang diambil oleh presiden.

"Presiden tidak bisa lagi dijatuhkan dengan alasan-alasan kebijakan atau alasan yang sifatnya subjektif," kata Refly.

Ia menekankan bahwa presiden hanya bisa diturunkan karena tiga alasan.

Pertama adalah pelanggaran hukum berat, lalu melakukan perbuatan tercela, dan yang terakhir adalah sudah tidak memenuhi syarat.

"Presiden hanya bisa dijatuhkan dalam tiga kategori," tandasnya.

Sebelumnya diberitakan, diskusi yang diselenggarakan oleh sejumlah mahasiswa FH UGM itu pada awalnya akan digelar pada Jumat (29/5/2020) dengan judul "Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan".

Namun dengan berbagai pertimbangan, tema diskusi akhirnya diganti menjadi "Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan".

Meskipun tema diskusi telah diganti, acara diskusi pada akhirnya tetap dibatalkan dengan alasan kondisi yang tidak kondusif.

Dilansir Kompas.com, Sabtu (30/5/2020), menurut penuturan Presiden Constutional Law Society (CLS) UGM, Aditya Halimawan, diskusi tersebut akhirnya dibatalkan sesuai kesepakatan dari pihak terkait karena adanya situasi yang kurang aman.

"Iya diskusinya kami batalkan," ungkap Aditya.

"Ini kesepakatan dari pembicara dan penyelenggara, karena memang kondisinya semakin tidak kondusif. Ya sebelumnya kami mendapat tindakan semacam peretasan dan ancaman juga," lanjutnya.

Guru Besar Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Dr. Ni'matul Huda selaku narasumber diskusi tersbut adalah satu dari beberapa target teror orang tak dikenal.

Selama Kamis (28/5/2020) hingga Jumat (29/5/2020), Prof Ni'ma menerima teror berupa didatangi orang tak dikenal di rumahnya pada malam hari dan teror yang menyerang lewat media sosial.

 Dosen FH UGM Cerita Alasan di Balik Geger Diskusi Pemecatan Presiden: Hanya Judul, Tak Baca TOR

Lihat videonya mulai menit ke-11.20:

(TribunWow.com/Mariah Gipty/Anung)

Tags:
Refly HarunpemakzulanJokowi
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA
KOMENTAR

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved