Breaking News:

Terkini Daerah

Haniva Hasna Sebut 4 Faktor NF Pembunuh Bocah Juga Jadi Korban: Kalau Dibiarkan, akan Ada yang Lain

Pada acara ILC, kriminolog anak mengatakan bahwa NF (15) gadis pembunuh APA (6), juga layak disebut sebagai korban

Penulis: anung aulia malik
Editor: Maria Novena Cahyaning Tyas
YouTube Indonesia Lawyers Club
Kriminolog Anak Haniva Hasna di acara Indonesia Lawyers Club, Selasa (10/3/2020) 

TRIBUNWOW.COM - Kriminolog anak Haniva Hasna menjelaskan empat faktor mengapa NF (15) gadis yang membunuh APA (6), juga menjadi korban dalam kasus tersebut.

Haniva sebelumnya telah menjelaskan faktor-faktor mengapa NF dapat disebut sebagai pelaku.

Kini ia menjelaskan ada empat faktor yang memungkinkan NF juga disebut sebagai korban dalam kasus pembunuhan tersebut.

NF (15), pelaku pembunuhan APA (6)
NF (15), pelaku pembunuhan APA (6) (youtube Tribunnews Bogor)

ILC Bahas ABG Bunuh Bocah di Jakpus, Sudjiwo Tedjo Ungkit Sumanto: Dari Mana Dia Dapat Delusi?

Dikutip dari YouTube Indonesia Lawyers Club, Rabu (11/3/2020), awalnya Haniva menjelaskan bahwa NF merupakan korban dari kesalahan pendidikan oleh keluarga dan lingkungan di sekitarnya.

"Dia ini korban, jadi jangan bilang dia pelaku, kenapa jadi pelaku? Karena dia korban," kata Haniva.

"Korban dari agensi keluarganya tadi, dan lingkungan," lanjutnya.

Haniva lalu menjelaskan bahwa berdasarkan teori Social Bonding, ada empat faktor yang menyebabkan NF dapat disebut sebagai korban.

Keempat faktor tersebut yakni, attachment (keterikatan), comittment (komitmen), involvement (keterlibatan), dan belief (kepercayaan).

Pertama, Haniva menjelaskan bahwa kedekatan antara pelaku dengan orangtua berperan besar dalam tindakannya.

"Attachment itu dengan siapa? Pertama dengan orang tua pastinya, dengan keluarga terdekatnya, pada saat dia enggak ada kedekatan, enggak ada tanggung jawab," katanya.

Haniva mencontohkan apabila dirinya ada niat melakukan aksi kriminal, dirinya pasti memikirkan perasaan dan kondisi orangtuanya.

"Pada saat anak tidak merasa punya kedekatan apapun dengan orangtuanya, dia akan bebas melakukan apapun," ujarnya.

Selanjutnya, Haniva tidak melihat adanya rencana kehidupan masa depan pada diri NF.

"Yang kedua, komitmen dia apa, lima belas tahun, harusnya dia sudah memikirkan SMA apa, dia harus memikirkan jurusannya apa, tujuan hidupnya apa, enggak ada sama sekali," terangnya.

Keterlibatan NF dengan lingkungan sekitarnya, disebut juga dapat mempengaruhi kondisi pelaku.

"Ketiga, involvement, keterlibatan dia di masyarakat, keterlibatan dia di sekolah, berarti tidak ada sama sekali," terang Haniva.

Kemudian faktor keempat adalah kepercayaan yang membuat orang takut melakukan hal-hal yang salah atau menyimpang.

"Terakhir adalah belief, agama, norma, aturan, enggak ada sama sekali," sambungnya.

Haniva juga menambahkan apabila kasus NF terus menerus diangkat, ada kemungkinan akan muncul kasus serupa.

"Ini kalau dibiarkan, nanti akan ada NF yang lain," ujarnya.

"Karena dengan NF disiarkan, para pengkopi-pengkopi ini akan muncul lagi," tegas Haniva.

Di ILC, Haniva Hasna Ungkap Alasan NF Tega Bunuh Bocah dan Tak Menyesal: Mungkin Dia Sedang Narsis

Pelaku Rawan Kumat

Dikutip dari acara METRO PAGI PRIMETIME, Minggu (8/3/2020), Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan seorang psikopat yang melakukan kejahatan akan lebih rawan kembali mengulanginya lagi.

Berdasarkan studi yang ada, tingkat residivisme (pengulangan aksi kriminal -red) pada psikopat lebih tinggi dari orang biasa

"Studi mengatakan bahwa tingkat residivisme yang dilakukan oleh orang-orang psikopat jauh lebih tinggi dari pada orang-orang non psikopat," papar Reza.

Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri dalam saluran YouTube metrotvnews, Minggu (8/3/2020).
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri dalam saluran YouTube metrotvnews, Minggu (8/3/2020). (YouTube metrotvnews)

Curhat di ILC, Ibu Bocah yang Dibunuh Remaja di Jakarta: Dalam Hati Saya, Anak Saya Masih Hidup

Hal tersebut terjadi lantaran orang-orang psikopat tidak bisa merasakan emosi yang sensitif terhadap sekelilingnya.

"Karena proses kerja otaknya memang berbeda dari orang-orang kebanyakan, empatinya menjadi hambar," ujar Reza.

"Itu lah yang kemudian menyebabkan tingkat residivismenya menjadi tinggi, bukan persoalan kepribadian saja atau perilaku saja," sambung Reza.

Reza mengatakan total ada tiga faktor yang dapat membentuk kepribadian seseorang.

Pertama ia menyoroti soal faktor perceraian yang mengakibatkan rusaknya kasih sayang dari orangtua.

"Diyakini sebagai salah satu penyebab mengapa kemudian anak mengalami proses tumbuh kembang secara tidak sehat, dan kemudian menjadi pelaku kenakalan atau pelaku kejahatan," terang Reza.

Kemudian faktor kedua adalah kondisi perekonomian.

"Bagaimana kondisi perekonomian lagi-lagi juga disebut sebagai salah satu faktor yang cukup kuat membentuk perilaku jahat," kata Reza.

Lalu faktor terakhir adalah apa yang menjadi asupan anak, yakni tontonan, bacaan, dan hal serupa lainnya.

"Apapun yang kita tonton, simak, baca, itu akan bisa mempengaruhi perilaku kita lewat proses peniruan," ucap Reza.

Reza juga menambahkan bahwa mendapat asupan bacaan maupun tontonan yang sarat kekerasan, bukan berarti dapat dipastikan akan mengubah perilaku seseorang.

"Tidak serta merta orang yang menonton kekerasan akan menjadi pelaku," ucapnya.

Merujuk dari kondisi NF yang masih anak-anak, Reza mengatakan orang yang paling berperan dalam pembentukan perilakunya adalah orangtua, keluarga besar, dan lingkungan masyarakat.

 Ayah Korban Sudah Anggap Keluarga Gadis Pembunuh Anaknya seperti Saudara: Enggak Punya Pikiran Jelek

Lihat videonya di bawah ini mulai menit ke-4.40:

(TribunWow.com/Anung)

Sumber: TribunWow.com
Tags:
Haniva HasnaRemaja bunuh balitaKasus PembunuhanIndonesia Lawyers Club (ILC)
Rekomendasi untuk Anda
ANDA MUNGKIN MENYUKAI

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved