Kabar Ibu Kota
Polemik Revitalisasi Monas, JJ Rizal Sebut Ali Sadikin hingga Anies Baswedan Tak Paham Visi Soekarno
Menurut Rizal, signifikansi Monas telah bergeser menjadi sebuah ruang publik yang penampilan fisiknya kerap direvisi oleh para gubernur Jakarta.
Editor: Lailatun Niqmah
TRIBUNWOW.COM - Polemik revitalisasi Monumen Nasional (Monas), yang dihentikan baru-baru ini, dinilai terjadi lantaran adanya perbedaan cara pemerintah memahami fungsi Monas dibandingkan dengan visi Soekarno saat membangun monumen ikon Indonesia tersebut.
Menurut sejarawan Jakarta JJ Rizal, tugu bersejarah setinggi 132 meter tersebut sebenarnya dirancang oleh Soekarno untuk menjadi "ruang semedi" bagi masyarakat untuk memahami apa itu Indonesia.
Seiring dengan perubahan zaman, menurut Rizal, signifikansi Monas telah bergeser menjadi sebuah ruang publik yang penampilan fisiknya kerap direvisi oleh para gubernur Jakarta.
• Klaim Tak Banyak Pohon Ditebang demi Revitalisasi Monas, Sekda DKI Minta Warga Sabar, Ini Alasannya
"Soekarno sebenarnya memindahkan konsep keraton Jawa, dalam hal ini tamannya. Taman di dalam keraton Jawa itu fungsinya sebagai ruang semedi, ruang berkontemplasi, ruang merekap diri, tapi sikapnya sangat feodal karena di dalam keraton," ujar JJ Rizal.
"Bung Karno mau memindahkan konsep feodal itu menjadi ruang yang sangat terbuka untuk semua orang, itu dari perspektif arsitektural ruang yang bersifat kultural," katanya.
Menurut JJ Rizal, dalam visinya, Soekarno membayangkan bahwa pengunjung Monas dapat menyaksikan garden of heroes, sebuah taman untuk mengenang pahlawan-pahlawan nasional.
Ketika masuk ke monumen, menurutnya, pengunjung dapat melihat diorama yang terdiri dari prestasi setiap generasi.
Ada juga sebuah ruang bernama ruang kemerdekaan, di mana pengunjung dapat mendengar lagu Indonesia Raya sambil melihat Bendera Pusaka, lalu naik ke puncak Monas untuk melihat luasnya Indonesia, katanya.
"Buat Bung Karno Monas itu mengajarkan pada kita, dengan pergi ke Monas kita belajar mengenal apa itu Indonesia, tapi juga ide Indonesia, jadi sangat signifikan, keributan hari ini sangat tidak signifikan dan menandakan krisis nilai, pengetahuan tentang apa itu Monas," kata JJ Rizal.
Revitalisasi Monas dari masa ke masa, menurut Rizal, menunjukkan bahwa visi Soekarno tersebut kurang dipahami oleh pemerintahan setelahnya, baik di tingkat pusat maupun provinsi.
"Dari zaman Bang Ali Sadikin, dan zaman-zaman setelahnya, sampai Anies Baswedan, itu contoh bagaimana (pemerintah provinsi) salah paham dan salah urus, dan debat hari ini adalah contoh bagaimana mereka gagal paham, di mana kita melihat pertunjukan yang kosong," ujarnya.
• Soal Revitalisasi Monas, Sekda DKI Klaim Penebangan Pohon Tak Bisa Dihindari: Habis Ini Tambah Hijau
Beda gubernur, beda fungsi Monas
Ali Sadikin, yang menjadi gubernur DKI Jakarta pada 1966 sampai 1977 pernah memanfaatkan kawasan lapangan Monas untuk menjadi lokasi Jakarta Fair.
Namun, menurut JJ Rizal, Bang Ali "menyadari" bahwa Monas bukanlah lokasi yang tepat untuk Jakarta Fair dan berencana memindahkannya ke wilayah seluas 41 hektar di kawasan Ancol.
"Bang Ali di tahun 1969 membuat acara Jakarta Fair, itu konsepnya menasionalisasi konsep Pasar Malam Gambir yang digelar untuk merayakan ulang tahunnya Ratu Belanda. Tapi Bang Ali menyadari dia melakukan kesalahan, itu tidak permanen," katanya.