Banjir di Jakarta
Cerita Para Mantan Gubernur Jakarta Atasi Banjir, dari Nongkrong di Pintu Air sampai Menggusur Warga
Berbagai era pemerintahan provinsi DKI Jakarta sudah melakukan berbagai upaya untuk meminimalisasi dampak banjir, ini cerita para mantan gubernurnya.
Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Lailatun Niqmah
Meskipun demikian, seiring pembangunan yang terus dilakukan, permukaan Jakarta menjadi semakin rendah.
Penurunan permukaan tanah antara lain disebabkan oleh air tanah yang terus disedot sehingga menimbulkan rongga pada tanah.
"Karena air resapan dari selatan belum masuk, dan air laut dari utara juga belum masuk, maka terjadi kekosongan," jelas Wiyogo.
"Rongganya tidak bisa menanggung beban. Terjadilah penurunan tanah. Akibat penurunan ini, sistem pencegahan banjir menjadi kacau," lanjutnya.
Akibatnya, air laut dapat meresap masuk untuk mengisi rongga tersebut.
"Akibat negatif lainnya, air laut akan meresap masuk dan merusak komposisi tanah," terang Wiyogo.
Menurut penjelasan Wiyogo, di era kepemimpinnya pada 1987-1992 telah diterbitkan sejumlah aturan untuk mengatasi penurunan permukaan tanah.
Antara lain adalah Surat Keputusan Nomor 17 tahun 1991 yang mewajibkan warga di selatan Jakarta membuat sumur resapan.
"Air hujan yang turun dari genteng harus masuk kembali ke dalam tanah. Ini untuk mengisi air tanah dangkal," katanya.
Untuk mengatasi persoalan banjir, pemerintah kemudian membangun Banjir Kanal Timur dan Barat yang dapat menampung luapan air sungai di Jakarta, termasuk air yang dikirim dari wilayah hulu di Jawa Barat.
Pengalaman Sutiyoso

Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pernah menghadapi banjir yang menggenangi 70 persen wilayah ibu kota.
Menjelang akhir masa jabatannya pada 2007, Jakarta diguyur hujan deras, mendapat kiriman banjir dari Sungai Ciliwung, serta terjadi rob dari daerah pesisir Jakarta.
Ketiga faktor tersebut membuat banjir pada saat itu sangat parah.
Ia kemudian membandingkan banjir pada 2013 dengan saat 2007.