Breaking News:

Terkini Nasional

Peneliti ICW Tama S Langkun Pertanyakan Komitmen Negara Basmi Koruptor: 2008-2019, 101 Vonis Bebas

Peneliti ICW Tama S. Langkun mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam memerangi korupsi, ia menungkap ada 101 koruptor mendapatkan vonis bebas

Penulis: anung aulia malik
Editor: Maria Novena Cahyaning Tyas
YouTube KOMPASTV
Praktisi Hukum Firman Wijaya (kiri) dan Peneliti ICW Tama S. Langkun (kanan) 

TRIBUNWOW.COM - Peneliti ICW Tama S. Langkun bersikeras mengatakan adanya pelunakan sikap pemerintah dalam melawan kejahatan korupsi.

Tama juga menunjukkan data koruptor yang bebas dari tahun 2008 hingga 2019 mencapai angka 101 orang.

Dikutip TribunWow.com dari video unggahan kanal Youtube Kompastv, Selasa (10/12/2019), mulanya Praktisi Hukum Firman Wijaya memberikan pandangannya terhadap kasus korupsi di Indonesia.

Grasi Jokowi Bukan Toleransi Korupsi, Praktisi Hukum Firman Wijaya Ungkap Maksud Pemberian Ampunan

Firman mengatakan tidak seluruh kasus korupsi di Indonesia mendapatkan keringanan dan ampunan dari pemerintah.

Adanya potongan hukuman, menurut Firman dilakukan untuk menghindari adanya kesalahan atau kekeliruan yang terjadi dalam proses hukum.

"Pertanyaan logisnya begini, masa sih dari sekian ratusan hukuman semua tidak ada yang dibebaskan, apa betul semua proses penyidikan sudah menunjukkan kapasitasnya, tidak terjadi error in judgement (kesalahan dalam penghakiman)," papar Firman.

Firman kemudian memberikan contoh kasus petani Sengkon dan Karta.

Sengkon dan Karta adalah petani tak bersalah yang mendekam di penjara karena kekeliruan sistem peradilan di Indonesia kala itu.

"Kita pernah punya tragedi penegakan hukum, Sengkon-Karta mati di dalam penjara," ucap Firman.

Firman mengatakan maksud dari potongan hukuman tersebut adalah untuk menghindari terulangnya kasus seperti Sengkon-Karta.

"Kan bukan saja tidak mungkin bahwa sistem peradilan kita juga mengalami error (kesalahan) di dalamnya," jelas Firman.

"Maka sekarang fungsi negara ketika melihat ada hal-hal yang secara humanis harus ditegakkan dalam bentuk grasi, wajar saja," tambahnya.

Mendengar pemaparan dari Firman, Peneliti ICW Tama S. Langkun tetap tidak setuju dengan sikap pemerintah yang menurutnya lunak terhadap kasus korupsi dan koruptor.

Tama kemudian memberikan fakta yang terjadi soal pemberian potongan hukuman.

Ia menunjukkan data soal terpidana kasus tindak pidana korupsi yang dibebaskan dari tahun 2008 hingga 2019.

Tama menekankan banyak koruptor yang mendapat potongan hukuman dari pemerintah.

"Secara angka kita juga sudah hitung, misalnya 2008-2019, 101 yang vonis bebas, banyak," ujar Tama.

Meskipun dirinya tidak setuju jika pemerintah bersikap lunak terhadap koruptor, Tama menegaskan pengadilan memang tidak memiliki kewajiban untuk selalu menjatuhkan putusan bersalah.

"Artinya kita tidak kemudian juga melihat bahwa yang namanya pengadilan itu wajib memberikan keputusan bersalah, enggak demikian," kata Tama.

"Apalagi misalnya ada adagium pengadilan sebagai mesin penghakiman atau mesin yang menghukum saja, tidak membebaskan. Tidak demikian juga," imbuhnya.

Tama menggaris bawahi maksud pernyataannya adalah sikap pemerintah kini cenderung makin melemah dalam memerangi korupsi.

"Toh kita enggak bantah bahwa ada 101 yang divonis bebas dalam tindak pidana korupsi," ujar Tama.

"Tetapi kemudian yang mau kita lihat adalah kecenderungan semakin ringan, semakin banyak."

"Ini yang kemudian fenomena-fenomena yang ada di publik yang perlu kita respon bersama," tambahnya.

Soal Hukuman Mati, Sufmi Dasco Minta Jokowi Maklumi Korupsi Kecil-kecilan: Kan Juga Ada Kekhilafan

Video dapat dilihat menit 12.45

Alasan Jokowi Berikan Grasi untuk Annas Maamun

Presiden Jokowi baru saja mengabulkan permohonan grasi dari terpidana korupsi kasus alih fungsi lahan di Riau, Annas Maamun.

Dilansir TribunWow.com dari tayangan YouTube KOMPASTV, Kamis (28/11/2019), Jokowi pun membeberkan alasan di balik pemberian grasi ini.

"Kenapa itu diberikan? Karena dari pertimbangan MA (Mahkamah Agung) seperti itu, pertimbangan dari Menko Polhukam juga seperti itu," beber Jokowi seusai melepas kontingen SEA Games 2019 di Istana Bogor, Rabu (27/11/2019).

 Soal Grasi Presiden ke Annas Maamun, Politisi PDIP I Wayan Sudirta: Pasti Ada Sesuatu yang Istimewa

Tak hanya itu, ada alasan lain yang menjadi pertimbangan presiden dalam pemberian grasi ini.

"Memang dari sisi kemanusiaan memang umurnya juga sudah uzur dan sakit sakitan terus. Sehingga, dari kacamata kemanusiaan itu diberikan," kata Jokowi.

Saat ditanya mengenai komitmen pemberantasan korupsi yang nantinya akan dikhawatirkan oleh masyarakat, Jokowi mengatakan grasi hanya diberikan sesekali.

"Nah kalau setiap hari kita keluarkan grasi untuk koruptor, itu baru, silahkan dikomentari," jawab Jokowi.

Sebelumnya, Jokowi juga mengatakan tidak semua grasi yang diajukan dapat dikabulkan oleh presiden.

"Tidak semua yang diajukan kepada saya itu dikabulkan, coba dicek, berapa ratus yang mengajukan dalam satu tahun, yang dikabulkan berapa, dicek betul," ucap Jokowi.

Namun, keputusan ini menuai polemik dari sejumlah pihak.

Misalnya saja dari Indonesia Corruption Watch (ICW).

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhan kritik keputusan presiden
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhan kritik keputusan presiden (YouTube KOMPASTV)

 ICW Pertanyakan Grasi Presiden Jokowi untuk Annas Maamun: Ini yang Disebut Kekhususan?

Peneliti ICW Kurnia Ramadhan mengatakan, pihaknya merasa kecewa atas putusan presiden tersebut.

"Pada dasarnya kita pasti kecewa, dan tidak salah jika masyarakat justru mengecam Keppres tentang grasi yang diberikan oleh presiden terhadap terpidana korupsi Annas Maamun," ujar Kurnia Ramadhan.

Ia mengatakan alasan kemanusiaan yang dikemukakan oleh Jokowi tidak jelas tolok ukurnya.

Tak hanya itu, Kurnia menilai negara seharusnya melakukan hal lain, selain memberikan grasi.

"Kenapa harus diberikan dengan tolok ukur kemanusiaan? Seandainya sakit-sakitan, yang harus dilakukan negara adalah memberikan fasilitas kesehatan yang mumpuni agar yang bersangkutan bisa pulih kembali," papar Kurnia.

"Pertanyaan sederhananya adalah apakah dengan dikurangi hukumannya setahun orang itu langsung sehat?"

Kurnia lalu mengatakan, dengan pemberian grasi ini lantas membuat komitmen Jokowi untuk memberantas korupsi dipertanyakan.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif mengatakan, pihaknya sudah menerima surat dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Dirjen Lapas.

Dalam surat tersebut, jaksa dari KPK diminta untuk melaksanakan keputusan.

"Pasti dilaksanakan oleh KPK," kata Laode M Syarif.

Namun saat itu, ia mengatakan pihaknya belum menerima alasan dibalik pemberian grasi tersebut.

"Tetapi pada yang sama, kami belum menerima informasi apa alasan dari pemerintah untuk menetapkan Pak Annas Maamun untuk menerima grasi," ujar Laode M Syarif.

Keputusan presiden ini juga direspons oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa.

Ia menilai, tindakan Jokowi ini tidak sesuai dengan prinsipnya dalam memberantas korupsi.

"Tidak sensitif dengan pemberantasan korupsi, berbanding terbalik dengan statement beliau tentang pemberantasan korupsi," ucapnya.

 Soal Hukuman Mati, Sufmi Dasco Minta Jokowi Maklumi Korupsi Kecil-kecilan: Kan Juga Ada Kekhilafan

Lihat video selengkapnya mulai menit awal:

 (TribunWow.com/Anung Malik/Fransisca Mawaski)

Sumber: TribunWow.com
Tags:
Indonesia Corruption Watch (ICW)Tama LangkunKoruptor
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved