Pilpres 2019
Effendi Gazali: Saya Menyesal, 5 Tahun ke Depan Bangsa Ini akan Terus Berkelahi, Terbelah 2
Menurut Effendi Gazali, lima tahun ke depan Indonesia akan terbelah, berkelahi, ada pengadangan, kebencian, gara-gara hanya ada 2 calon.
Editor: Mohamad Yoenus
TRIBUNWOW.COM, JAKARTA - Pemohon gugatan nomor 54/PUU-XVI/2018 di Mahkamah Konstitusi, Effendi Gazali, sedari awal sidang sudah tampak bertentangan dengan hakim konstitusi.
Di awal sidang, dia sudah meminta sikap dari hakim atas surat yang dilayangkan sebelumnya.
Surat itu berisi agar pembacaan putusan untuk gugatannya tidak dibacakan secara bersamaan dengan lima gugatan lainnya tentang UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Kami tidak mau, trauma kami kembali terulang seperti pada saat putusan MK sebelumnya tentang Pasal 222 undang-undang Pemilu," ucapnya saat sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/10/2018).
Kegeraman berlanjut usai mendengarkan putusan Hakim Konstitusi yang menolak seluruh dalil permohonannya.
Dia menolak diwawancarai terlebih dahulu sebelum semua wartawan yang meliput di MK saat itu berkumpul semuanya.
"Kumpul dulu semuanya, saya tidak akan bicara ini lagi dan tidak ada tanya jawab," kata dia sembari menunggu.
Suaranya mulai meninggi ketika dirinya menjelaskan semua pertimbangan hakim konstitusi tidak masuk akal, dan dinilai sudah melakukan pembohongan publik. Bahkan, tak segan dia melontarkan kata "sontoloyo" kepada hakim usai persidangan.
• Jadwal dan Lokasi Tes SKD CPNS 2018 di Kemenko Kemaritiman, Catat Juga Tata Tertibnya
"Seluruh pertimbangan hakim enggak masuk akal. Pertimbangannya mengandung kebohongan dan sotoloyo. Cocok dengan pernyataan presiden, telah dilakukan oleh hakim MK ini kebohongan publik dan sontoloyo," kata dia dengan suara meninggi.
Matanya masih terlihat memerah, bibirnya gemetar, jemari tangannya menunjuk ke arah wartawan.
Dia menegaskan menolak bertanggungjawab atas kekacauan yang dinilai akan terjadi pada saat Pemilu serentak 2019.
Pasalnya, dirinya sudah berupaya untuk mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi.
"Kalau Pemilu serentak ini menjadi yang paling kacau, maka bukan salah saya Effendi Ghazali, tapi salah pembentuk undang-undang dan hakim MK," tegasnya.
Pakar Komunikasi Politik itu juga mengaku menyesal ketika dirinya sempat menjadi salah satu pemohon agar Pemilu di Indonesia menjadi serentak seperti saat ini.
"Pemilu serentak ini, dulu saya yang mengajukan. Dengan adanya presidential threshold seperti ini menyesatkan. Sebaiknya kembalikan lagi saja seperti Pemilu sebelumnya. DPR dulu kemudian presiden," tegasnya.