Gejolak Rupiah
Imbas Pelemahan Rupiah, Sri Mulyani: Bukan pada Utangnya, namun pada Defisit Transaksi Berjalan
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan penguatan nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah bukan berimbas pada utangnya.
Penulis: Ananda Putri Octaviani
Editor: Fachri Sakti Nugroho
TRIBUNWOW.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengemukakan, penguatan nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah bukan berimbas pada utangnya.
Dilansir TribunWow.com dari website resmi Sekretariat Kabinet RI, Sri Mulyani dalam wawancara dengan Bloomberg di sela kegiatan World Economic Forum (WEF) untuk ASEAN di Hanoi, Vietnam, Rabu (12/9/2018), menjelaskan, melemahnya rupiah justru lebih berpengaruh pada Defisit Transaksi Berjalan/ Current Account Defisit.
“Apa yang membedakan setiap negara adalah kerentanan terhadap faktor eksternal. Indonesia bukan pada utangnya, namun pada defisit transaksi berjalan,” kata Sri Mulyani.
• Bank Indonesia Prediksi Posisi Rupiah di Tahun 2019
Sri Mulyani menuturkan, undang-undang di Indonesia mengatur bahwa Defisit Transaksi Berjalan tidak boleh melewati angka 3 persen dari Product Domestic Bruto (PDB).
Menurutnya, sekarang ini angka tersebut masih dalam kendali.
Selain itu, Sri Mulyani menjelaskan, ketika Amerika Serikat memiliki sentimen terhadap negara berkembang di belahan dunia lain, hal itu menciptakan dinamika.
Melihat tantangan tersebut, Pemerintah menurunkan defisit fiskal dan defisit transaksi berjalan diatasi dengan membatasi impor secara selektif untuk menjaga momentum.
Tak hanya itu, Sri Mulyani menambahkan, pemerintah juga tengah berupaya meredam gejolak dinamika ekonomi global dengan membuat kebijakan yang memperhatikan faktor psikologis atau sentimen pasar.
Hal ini juga disertai dengan aktif mengomunikasikan kebijakan kepada para pemangku kepentingan.
• Amerika Serikat akan Rilis Data Inflasi, Analis Perkirakan Rupiah Kembali Melemah
Sementara itu menurut analisis terbaru Nomura Holdings Inc, ada tujuh negara berkembang di dunia yang memiliki risiko besar dalam mengatasi krisis mata uang.
Ketujuh negara itu adalah: Pakistan, Turki, Sri Lanka, Afrika Selatan, Argentina, Mesir, dan Ukraina.
Dari tujuh negara itu, menurut analisis Nomur, Argentina dan Turki mengalami krisis mata uang.
Sementara Argentina, Mesir, Sri Lanka dan Ukraina telah memutuskan untuk mengambil bantuan IMF sebagai cara untuk keluar dari krisis.
Analisis Nomura itu juga mengungkapkan adanya delapan negara dengan risiko krisis paling rendah, dimana Indonesia adalah salah satunya.
Kedelapan negara berkembang dengan risiko krisis terendah menurut Nomura adalah Brasil, Bulgaria, Indonesia, Kazakhstan, Peru, Filipina, Rusia, dan Thailand.