Terkait HoA Freeport dan Indonesia, Rachland Nashidik: Sapi Beda dengan Kambing
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat, Rachland Nashidik memberikan komentar terkait saham Freeport.
Penulis: Tiffany Marantika Dewi
Editor: Fachri Sakti Nugroho
TRIBUNWOW.COM - Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat, Rachland Nashidik memberikan komentar terkait saham Freeport.
Komentar tersebut ia tuliskan melalui akun Twitter-nya, @RachlanNashidik, Minggu (15/7/2018).
Ia memberikan perumpamaan saham Freeport yang dibeli Indonesia dengan sapi yang berbeda dengan kambing.
Karena, menurut Rachland, sebuah artikel mulai menganalisa Head of Aggrement (HoA) Freeport dengan Indonesia.
• Kebiasaan-kebiasaan yang Harus Dihentikan oleh Setiap Zodiak, Cancer Berhentilah Berpikiran Negatif!
Indonesia membeli saham Freeport dari semula 9 persen menjadi 11 persen.
Sementara, Indonesia ingin membeli participating interest (PI) dari Rio Tinto sejumlah 40 persen dari jumlah produksi tertentu.
Atas dasar itulah, Rachland menganggap ada beda jika dikatakan Indonesia telah merebut 51 persen saham Freeport.
• Dahnil Anzar Perang Cuitan dengan Yunarto terkait HoA Rio Tinto: Berita Itu Masih Berlaku saat Ini
"Sapi beda dari kambing", sebuah artikel mulai menganalisa HoA Freeport dengan RI.
RI mau beli Saham Freeport dari semula 9% jadi 11%. Mau beli PI dari Rio Tinto, 40% dari jumlah produksi tertentu.
Kok bilang rebut 51% saham Freeport, seolah sapi sama dengan kambing?
Ajib," tulis Rachland.

• Sindir Pimpinan DPR, Tsamara Buat Tagar 2019 DPR Berubah: Yakin yang Seperti Ini Mau Diteruskan?
Diberitakan sebelumnya dari Tribunnews, Ekonom Senior Indef Dradjad Wibowo mengkritisi pencitraan yang dilakukan oleh oknum pemerintah terkait 51 persen saham Freeport sangat kelewatan.
Karena menurut Dradjad, seharusnya dilakukan fact and check dahulu terkait apa yang telah disepakati.
"Mari kita lakukan fact-check. Apa yang sudah disepakati? Jawabnya, lebih pada soal harga. Tiga pihak, yaitu Indonesia (pemerintah dan Inalum), Freeport-McMoRan Inc. (FCX) dan Rio Tinto sepakat pada harga 3.85 miliar dolar, atau sekitar Rp 55 triliun. Ini adalah harga bagi pelepasan hak partisipasi Rio Tinto, plus saham FCX di FI," paparnya.
Rio Tinto katanya lagi, terlibat dalam negosiasi karena melakukan joint venture dengan FCX, hingga 2021 berhak atas 40% dari produksi di atas level tertentu dan 40% dari semua produksi sejak 2022.
"Gampangnya, lanjut Dradjad, meskip FCX pemilik mayoritas FI, tapi 40% produksinya sudah di-ijon-kan ke Rio Tinto. Jadi selain saham FCX di FI, Indonesia juga harus membeli hak ijon ini.
Apakah Freeport sudah direbut kembali seperti klaim bombastis yang beredar? Belum. Dradjad mengungkap, transaksi ini masih jauh dari tuntas. Kepada media asing seperti Bloomberg dan lainnya, pihak FCX dan Rio Tinto menyebut, masih ada isu-isu besar yang belum disepakati.
Dalam berita Bloomberg, Rio secara resmi menyatakan "Given the terms that remain to be agreed, there is no certainty that a transaction will be completed". Sehingga, masih belum ada kepastian bahwa transaksinya akan tuntas," tuturnya.
Dijelaskan, menurut Freeport dalam berita Bloomberg, isu besar itu adalah:
(a) hak jangka panjang FCX di FI hingga tahun 2041,
(b) butir-butir yang menjamin FCX tetap memegang kontrol operasional atas FI, meskipun tidak menjadi pemegang saham mayoritas,
dan (c) kesepakatan tentang isu lingkungan hidup, termasuk tentang limbah tailing.
"Kemudian, kenapa pada bulan Juli 2018 tercapai kesepakatan harga? Dugaan saya, ini tidak lepas dari fakta bahwa IUPK sementara (Ijin Usaha Pertambangan Khusus) bagi FI habis pada 4 Juli 2018. Melalui revisi SK Nomor 413K/30/MEM/2017, IUPK diperpanjang hingga 31 Juli 2018. Sejak 2017, IUPK ini sudah berkali-kali diperpanjang," kata Dradjad.
"Harganya mahal atau tidak? Saya belum bisa menjawabnya sekarang. Tapi yang jelas, sejak lama Rio Tinto pasang harga di US$ 3.5 miliar dan tidak mau nego. Indonesia akhirnya menyerah, terima harga 3.5 miliar dolar, ditambah 350 juta dolar bagi FCX," imbuhnya.
Dradjad melanjutkan, sebagai perbandingan, pada 1 November 2013 Indonesia "merebut kembali" Inalum dari Jepang.
Pihak Jepang, yaitu NAA (Nippon Asahan Aluminium) ngotot dengan harga 626 juta dolar, sementara pemerintah ngotot 558 juta dolar.
Sehingga, ada selisih 68 juta dolar dan Jepang akhirnya takluk.
Sebagai catatan, aset Inalum saat ini sekitar Rp 90 triliun.
Dengan kesepakatan harga 3.85 miliar dolar, transaksi ini nilainya setara 61% aset Inalum.
"Saya ingatkan, jangan sampai Inalum over-stretched, yang bisa menjadi masalah besar di kemudian hari," tegas Dradjad.
Berdasarkan fakta di atas, jelas bahwa Freeport menurutnya belum "direbut kembali".
Transaksi belum terjadi karena ada isu-isu besar yang belum tuntas.
"Itu pun Indonesia nerimo saja harga yang dipatok oleh Rio Tinto. Jika transaksinya terwujud nanti, Indonesia harus membayar Rp 55 triliun. Tapi, FCX ngotot kontrol operasional tetap mereka yang pegang. Qulil haqqa walau kaana murran," Dradjad menegaskan. (TribunWow.com/Tiffany Marantika)