Inilah 4 Kritikan Fahri Hamzah kepada Jokowi Terkait UU MD3
Atas sikap Jokowi tersebut, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah sontak meluncurkan kritiknya kepada sang kepala negara.
Editor: Fachri Sakti Nugroho
TRIBUNWOW.COM - Presiden Joko Widodo belum juga menandatangani Undang-undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) yang telah disahkan di DPR RI pada Senin lalu, (12/2/2018).
Bahkan menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Presiden kemungkinan besar tidak akan menandatangani perubahan ke dua atas undang-undang nomor 17 tahun 2014 tersebut yang sejumlah pasalnnya mendapatkan penolakan publik.
Keenganan tersebut sebagai bentuk protes presiden terhadap sejumlah pasal yang dinilai kontorversial.
Adapun pasal yang dinilai kontroversial tersebut yakni, pasal 73 ayat 3 dan 4, pasal 122 huruf K, dan pasal 245 ayat 1.
Adapun ketiga pasal tersebut memang menjadi sorotan dalam pembahasan UU MD3:
Pasal 73 UU MD3 menyebutkan polisi wajib membantu memanggil paksa, pihak yang diperiksa DPR. Selain itu pasal 122 huruf K yang dapat mempidanakan mereka yang dianggap merendahkan martabat DPR. Terakhir pasal 245 yang mana pemanggilan anggota dewan harus seizin presiden dengan sebelumnya melalui pertimbangan MKD.
Atas sikap Jokowi tersebut, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah sontak meluncurkan kritiknya kepada sang kepala negara.
Berikut ini kritik-kritik Fahri terhadap Jokowi terkait penyikapannya soal UU MD3.
Populer: Jokowi Belum Tandatangani UU MD3, Fahri Hamzah: Teken Dulu Baru Bisa Masuk
1. Kabinet Jokowi tak paham falsafah berdemokrasi
Menurut Fahri, bila presiden tidak menandatangani UU MD3 berarti semua Kabinet kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak paham falsafah berdemokrasi.
Karena tidak ada satu anggota kabinet yang dapat meyakinkan presiden soal Undang-undang tersebut.
"Makanya kalau misalnya kalau sampai akhir Pak Jokowi enggak teken berarti seluruh kabinet itu gagal memahami falsafah demokrasi, trias politica dan sebagainya. Satu kabinet gagal semua itu, enggak ngerti begitu," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, (21/2/2018).
Menurutnya memang berat memahami falsafah demokrasi dalam UU MD3.
Diperlukan kenegerawanan untuk memahamai pasal-pasal yang ada dalam UU tersebut.
"Kalau kita ini terus menerus pikirannya intrik curiga atau sudah teracuni oleh politik dan hukum kita yang rada-rada kacau dalam 20 tahun transisi ini, ya memang itu susah dimengerti," katanya.
Populer: Paham Keresahan Masyarakat, Jokowi Unggah Cuitan di Twitter soal UU MD3 hingga Mendadak Viral
2. Presiden tidak tahu tentang hak imunitas?
Fahri mengatakan dalam UU MD3 yang baru, tidak ada perubahan signifikan dalam isi pasalnya.
Yang berubah hanya cara mengkonsolidasikan hak imunitas DPR yang diamanatkan Undang-undang, yakni pasal 20 ayat 3 UUD 1945.
Sehingga menurut Fahri hak imunitas anggota DPR tersebut sudah tercantum sebelumnya dalam UUD 1945, bukan dalam UUMD3.
"Jangan-jangan Presiden enggak tahu bahwa hak imunitas itu ada dalam UUD," katanya.
Menurut Fahri di negara manapun anggota DPR mendapatkan hak imunitas.
Karena DPR memiliki fungsi mengimbangi kekuatan eksekutif yang sangat kuat.
"Karena falsahnya dulu kekuasaan itu cuma ada di eksekutif, itu sejarahnya," kata Fahri.
Populer: Tidak Akan Membuat Peraturan Pemerintah Pengganti UU MD3, Jokowi: Silakan Berbondong-bondong ke MK
3. Sulit membuat Jokowi mengerti
Fahri Hamzah menilai, tidak etis apabila presiden tidak menandatangani UU MD3.
Pasalnya Undang-undang tersebut nerupakan hasil pembahasan antara pemerintah dan DPR.
"Ya itu kita standarnya etik lah ya, karena ada yang dijaga oleh hukum, 30 hari akan berlaku. Tapi yang dijaga oleh etik itu adalah bagaimana ia ikut membahas tapi kemudian tidak ikut mengesahkan. Kalau ikut membahas ya harus ikut mengesahkan," ujar Fahri.
Menurut Fahri pemerintah melalui Menkumham Yasonna Laoly ikut dalam pembahasan UU MD3.
Bahkan menurutnya Yassona sangat aktif dan dominal dalam pembahasan.
Ia yakin Yasonna memahami benar setiap pasal yang akan disahkan, termasuk pasal-pasal terkait imunitas DPR.
"Saya yakin Pak Yasonna sebagai mantan anggota DPR berkali-kali, dia paham ini. Dan saya nonton juga itu pembahasannya itu membaca juga notulensinya itu. Pak Yasonna cukup dominan, dia paham dan pikirannya benar," katanya.
Fahri mengaku tidak tahu mengapa presiden menolak UU MD3 yang telah disepakati antara pemerintah dan DPR.
Fahri menduga hal tersebut, karena sulitnya meyakinkan Presiden Jokowi.
"Cuma ini kan meyakinkan Pak Jokowi enggak gampang. Karena Pak Jokowi sendiri tidak gampang dibikin mengerti ya kan? Ini saya bilang berat ini ilmu gitu loh, mesti ada yg bisa meyakinkan bahwa ini berat," katanya.
4. Sikap Jokowi hanya Pencitraan
Fahri mengaku heran apabila Presiden Joko Widodo tak ingin menandatangani Undang-Undang MD3 lantaran resah dengan pasal-pasal terkait imunitas DPR.
"Kan undang-undang ini dibahas antara DPR sama pemerintah, terus pas sudah disepakati di rapat paripuna, Presiden kaget. Misscom (Miskomunikasi) nih Si Yasonna (Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly) ke Presiden?" kata Fahri.
Namun demikian, Fahri mengatakan, meskipun Presiden Jokowi tak meneken, UU MD3 akan berlaku dengan sendirinya setelah 30 hari ditetapkan. Karena itu,
Fahri menilai sikap Jokowi saat ini sebagai pencitraan.
"Meski demikian kalau undang-undang pasti berlaku, ya kan. Tiga puluh hari Presiden enggak mau menunjukkan sikap, ya karena mau pencitraan," kata Fahri lagi. (*)