"Itu dalam waktu hanya lima bulan, dengan rapat-rapat yang tidak lazim. Hari libur pun kita rapat," kata Amin.
"Dilakukan di musim pandemi yang seperti ini," tambahnya.
Muncul dugaan pembahasan Omnibus Law sengaja 'dikebut' selama pandemi, agar tidak menimbulkan kerumunan massa yang berdemo.
Anggota DPR yang hendak memberi masukan pun merasa kesulitan saat pembahasan dilakukan.
"Tentu akses aspirasi masyarakat, masukan publik amat sangat terbatas," terang Amin.
"Jangankan publik, kita saja sebagai sebagai anggota panja (panitia kerja), kehadiran fisiknya itu dibatasi. Misalnya dari PKS tiga orang, yang boleh hadir fisik cuma satu," lanjut politisi PKD tersebut.
"Yang online tentu saja banyak keterbatasan. Tidak bisa memberi masukan, mungkin kurang didengar, mungkin sinyal lemah," ungkapnya.
Amin lalu menyoroti sisi substantif dari UU yang menuai banyak penolakan tersebut.
Penolakan paling banyak terjadi dari kalangan pekerja terkait klaster ketenagakerjaan.
Diketahui sejumlah aturan terkait pesangon akan berubah dalam UU Ciptaker.
"Banyak sekali yang kita kritisi dari RUU ini, salah satunya yang cukup menyita perhatian publik itu klaster ketenagakerjaan," kata Amin.
"PKS berjuang dari awal agar tidak ada perubahan terkait ketenagakerjaan ini, ingin mempertahankan undang-undang existing," jelasnya.
Amin menyebutkan pembahasan terkait klaster khusus itu sendiri menuai perdebatan yang panjang di antara sesama anggota DPR.
"Khususnya mengenai pesangon. Itu deal-nya dari malam sampai siang," ungkap Amin. (TribunWow.com/Anung/Brigitta)