TRIBUNWOW.COM - Pakar hukum tata negara Refly Harun mengkritik diterbitkannya putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap gugatan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019.
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia bahas dalam kanal YouTube Refly Harun, diunggah Rabu (8/7/2020).
Sebelumnya MA mengabulkan gugatan Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yakni Rachmawati Soekarnoputri dan enam orang lainnya.
• Soal Jokowi Ancam Reshuffle, Refly Harun Sebut Pernah Prediksi: Menteri Sekarang Sadar Kamera
Mereka menggugat PKPU Nomor 5 Tahun 2019 Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umu pada 13 Mei 2019.
Meskipun hasil tersebut tidak memengaruhi pasangan terpilih Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Refly Harun menyesalkan putusan MA.
"Sebenarnya saya mengkritik putusan Mahkamah Agung," kata Refly Harun.
Ia menyinggung sebetulnya Mahkamah Konstitusi (MK) juga sempat memproses gugatan tim Prabowo-Sandiaga.
Refly menilai hasil putusan kedua institusi tersebut bertentangan.
"Karena dia memutuskan sesuatu yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi," jelasnya.
Ia kemudian menjelaskan latar belakang keputusan MK terhadap uji materi terhadap dasar pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres).
"Memang Mahkamah Konstitusi memutuskan itu dalam konteks judicial review (uji materi) Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 yang menjadi alas pelaksanaan Pilpres 2009 dan 2014," papar Refly Harun.
"Sesungguhnya materi tersebut adalah tafsir atas Pasal 6A Undang-undang Dasar 1945. Jadi sudah mengikat sesungguhnya," tambahnya.
Menurut Refly, peraturan yang diterbitkan KPU hanya menjadi norma baru atas undang-undang yang menaunginya.
• Burhanuddin Muhtadi kepada Jokowi Jika Tak Lakukan Reshuffle: Kakean Gluduk Ora Ono Udane
"Apa yang dilakukan oleh KPU hanya menormakan apa yang sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi yang lupa dinormakan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017," kata Refly.
Ia menyebutkan putusan MA dan MK dapat menimbulkan tafsir yang berbeda.
"Dengan pembatalan tersebut, maka sesungguhnya ada dua tafsir," jelas pakar hukum tersebut.
"Tafsir pertama adalah tafsir Mahkamah Konstitusi yang mengatakan kalau terjadi dua calon saja maka pemenangnya adalah siapa yang mendapat suara terbanyak," lanjutnya.
Refly menilai putusan MA menyebutkan Peraturan KPU tidak berlandaskan hukum.
"Tafsir kedua adalah tafsir Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa apa yang dikatakan KPU itu tidak ada landasannya, baik cantolannya ke undang-undang maupun cantolannya ke kontitusi," paparnya.
"Ini yang kadang-kadang keputusan pengadilan yang saling-silang," tambah Refly Harun.
Lihat videonya mulai menit 21:30
Refly Harun Khawatir karena Sering Kritik Pemerintah
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun turut menyuarakan kekhawatirannya akses internetnya akan diblokir karena kerap melontarkan kritik lewat kanal YouTube.
Hal itu ia sampaikan setelah kejadian pada Rabu (3/6/2020) lalu, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Menkominfo resmi diputuskan bersalah oleh Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta atas pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat.
• Berkaca dari Jokowi Blokir Internet Papua, Refly Harun Minta Warganet Tanggung Jawab saat Mengkritik
Dikutip dari YouTube Refly Harun, Kamis (4/6/2020), awalnya Refly mengatakan bahwa untuk membungkam suara kritis tidak perlu lagi dengan kekerasan fisik.
Refly mengungkit sekilas nama-nama aktivis seperti Munir yang tewas dibunuh secara misterius di era orde baru.
Berbeda dengan orde baru, menurut Refly saat ini untuk membungkam suara kritis cukup dengan membatasi akses internet.
"Cukup akses internetnya diperlambat atau bahkan dihilangkan sama sekali," ucapnya.
Mantan Komisaris Utama Pelindo I itu kemudian bercerita kebingungan yang akan dirasakan masyarakat apabila di saat pandemi tiba-tiba akses internet diblokir.
"Coba bayangkan di situasi pandemi Covid-19 ini, kalau kita tidak memiliki saluran internet yang memadai," ujar Refly.
"Kita mau apa setiap hari, kita akan bingung melakukan kegiatan apa karena andalan kita adalah saluran internet," ungkapnya.
Refly lalu menyinggung soal aktivitas dirinya sebagai YouTuber.
Seperti yang diketahui, Refly kerap mengeluarkan konten-konten di kanal YouTube miliknya yang berisi kritikan terhadap pemerintah.
Pria lulusan UGM itu mengatakan dirinya tidak akan bisa bersuara lagi apabila akses internet miliknya diblokir.
"Apalagi ketika saya pribadi misalnya atau orang-orang lain mulai membuat informasi dengan menggunakan kanal YouTube. Tidak lain internet adalah prasarana utama," terang dia.
"Jadi kalau mau mematikan arus infromasi tandingan misalnya, suara-suara kritis masyarakat maka cukup mematikan internet saja atau memperlambat internet maka kita akan kelepek-kelepek, enggak bisa apa-apa."
• Presiden RI dan Menkominfo Divonis Bersalah soal Pemblokiran Internet di Papua, Ini Tanggapan Istana
Refly kemudian menyuarakan harapannya kepada pemerintah soal kasus pemblokiran internet tersebut.
Ia berharap pemerintah bisa menjadi lebih bertanggung jawab setelah menerima putusan bersalah dari PTUN.
Mantan Komisaris Utama Pelindo I itu berharap agar pemerintah bisa adil dalam mengelola internet meskipun banyak suara kritis yang datang dari sarana komunikasi tersebut.
"Walaupun kencang sekali kritik terhadap pemerintah melalui jalur YouTube dan media sosial lainnya yang menggunakan atau berbasis pada internet."
"Tapi mudah-mudahan tidak terpikir sedikitpun dalam pikiran pemerintah atau siapapun yang berkuasa yang menguasai akses internet."
"Yang bisa membuka, menutup, memperlambat atau mempercepat akses internet untuk menghalang-halangi semua kegiatan masyarakat terutama kegiatan kritis," ucap Refly. (TribunWow.com/Brigitta Winasis/Anung)