“Kalau daging impor, harganya naik 4 kali lipat. Tapi kalau alat kesehatan (alkes) bisa10 kali lipat. Saya makin bertekad untuk membuatnya tanpa menggunakan rantai pasok alkes,” ungkap Syarif.
• Dirut RSUD Makassar Dicopot setelah Ada Jenazah Pasien Corona Diambil Keluarga dengan Jaminan DPRD
Bertemu dokter Unpad
Ia mencoba mengembangkan ventilator dengan alat seadanya.
Karena tidak memungkinkan, ia mengajukan dana pada Salman Rp 50 juta sebagai modal awal pembuatan ventilator.
Setelah jadi, ia memosting prototype ventilator dan memostingnya di media sosial.
Lalu ia tulis membutuhkan dokter untuk mereview ventilatornya.
Hingga akhirnya ia dipertemukan dengan dokter anestisi, Ike Sri Rezeki dari Unpad.
Dengan tegas Ike mengatakan, rancangan Syarif bagus dan banyak. Namun yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah Continous Positive Airway Pressure (CPAP).
CPAP adalah satu fungsi paling sederhana pada ventilator untuk memberikan tekanan positif pada paru-paru agar terus megembang, tidak kuncup.
Ini penting karena Covid-19 menghasilkan lendir yang membuat paru-paru tidak bisa menerima oksigen.
“Saya bimbang, karena yang dipakai alat sederhana, tidak menantang banget. Karena yang saya buat terbilang canggih. Tapi dalam ekosistem inovasi, voice of customer sangat penting. Makanya saya libatkan dokter,” ucap dosen ITB ini mengungkapkan.
Ia akhirnya menyetujui permintaan Ike. Meski terbilang sederhana, prosesnya tidak mudah.
Kondisi pandemi membuat material yang dibutuhkan sulit ditemukan.
Apalagi material yang berasal dari luar negeri, tekendala juga oleh pengiriman sehingga tidak bisa dipastikan akan sampai kapan.
Rela dicibir, hingga menangis karena alat rusak