"Jadi orang menyebutnya sebagai constitutional dictatorship, jadi diktator tetapi konstitusional," imbuhnya.
Refly Harun menjelaskan bahwa sudah terlihat produk-produk hukum yang memiliki tujuan justru mengarah pada kekuasaan pemerintah semata.
Seperti misalnya Undang-Undang Omnibus Law, Perppu 1 Tahun 2020, UU KPK dan lain sebagainya.
• Maju Mundur Aturan Transportasi, Refly Harun Sebut Kemenhub Tidak Tunduk di Bawah Koordinasi BNPB
Banyak kontra dari masyarakat terkait tiga kebijakan tersebut dan sudah barang tentu menjadi bahan kritik.
Namun pastinya, kritik tersebut mendapatkan balasan atau pembelaan dari kaum-kaum bayaran pemerintah.
"Artinya apa, produk-produk hukum yang dihasilkan itu justru membangun kekuasaan yang otoriter, kekuasaan yang menumpuk pada satu tangan, seperti contohnya Undang-Undang Omnibus Law, Perppu 1 Tahun 2020, UU KPK dan lain sebagainya," ungkap Refly Harun.
"Dan kebijakan-kebijakan atau produk-produk hukum yang menurut kita buruk tersebut didukung oleh kelompok-kelompok pendukung negara yang kerjanya menumbangkan atau mengkritik mereka yang mau menyampaikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan negara," tambahnya.
"Sekali lagi memang kita tidak boleh menuju jurang dictatorship, baik itu konstitusional maupun unconstitutional dictatorship," pungkasnya.
Simak videonya mulai menit ke- 15.16:
Refly Harun Sindir Pemerintah dan Buzzer
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun memberikan sindiran kepada pemerintahan, termasuk kepada para buzzernya.
Dilansir TribunWow.com, Refly Harun menilai pemerintah saat ini sibuk menyiapkan buzzer untuk melindungi dari kritik yang diberikan oleh publik.
Menurut Refly Harun, kondisi seperti itu justru membahayakan sistem negara yang bersifat demokrasi.
Hal ini disampakannya dalam tayangan Youtube pribadi Refly Harun, Minggu (10/5/2020).
"Tapi yang paling berbahaya adalah kritik kita dibungkam, baik melalui aparatur negara, agen-agen resmi maupun melalui perantara buzzer," ujar Refly Harun.