Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elotos, yang turut mendesak pembatalan RUU Cipta Kerja.
"Sejak dari awal selain proses dan kemudian kontennya juga sangat bertentangan dengan konstitusi negara kita yaitu Undang-Undang Dasar dan kemudian Pancasila," tutur Nining.
Ia menyoroti pemerintah yang masih melakukan pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah pandemi Virus Corona.
Menurutnya, tindakan tersebut sangat tidak tepat dan meminta agar pemerintah lebih fokus menangani pandemi Covid-19 dahulu.
Berikut adalah sejumlah aturan dalam RUU Cipta Kerja yang menjadi bahan kontroversi diantara masyarakat.
Pertama, ketentuan pengupahan dalam RUU Cipta Kerja yang berbeda dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Draf tersebut dikhawatirkan dapat menjadi dasar untuk menghapuskan upah, minimum kabupaten atau kota karena menghitung upah berdasarkan atas satuan kerja dan satuan waktu.
Kedua, ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan soal kontrak kerja yang dihapus dalam RUU Cipta Kerja.
Ini berarti semua jenis pekerjaan baik mikro maupun makro, secara sah diperbolehkan untuk mempekerjakan buruh dengan sistem kontrak.
Ketiga, penghapusan pasal-pasal yang mengatur outsourcing.
Hal itu berpotensi menyebabkan semua pekerjaan bisa menggunakan sistem outsourcing.
Padahal, aturan soal outsourcing yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan sudah memiliki aturan turunan yang lebih spesifik dalam Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2019.
Keempat, dihapuskannya sanksi pelanggaran pengupahan yang ada dalam Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.
Penghapusan itu semakin memperbesar celah perusahaan untuk mempekerjakan buruh dengan upah di bawah minimum.
Kelima, jaminan kesehatan yang tak lagi diatur sebagai kewajiban pengusaha di draf RUU Cipta Kerja. (TribunWow.com/ Via)