Virus Corona

Jatuh saat Pandemi Corona, Peringatan Hari Buruh 1 Mei 2020 akan Digelar secara Virtual di Medsos

Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Lailatun Niqmah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah buruh mengenakan masker saat pulang kerja di salah satu pabrik di kawasan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (29/4/2020). Langkah tersebut dalam rangka pencegahan penularan virus corona (Covid-19) di lingkungan pabrik. Terbaru, ilustrasi buruh mengenakan masker untuk hindari Covid-19.

TRIBUNWOW.COM - Sejumlah komunitas pekerja akan menggelar aksi peringatan Hari Buruh (Mayday) secara online melalui media sosial, Jumat (1/5/2020).

Hari Buruh biasanya diperingati dengan turunnya para pekerja ke jalan untuk menyuarakan pendapatnya.

Sejumlah isu akan diusung terutama yang terkait dengan kesejahteraan para buruh.

Agenda Peringatan Hari Buruh 1 Mei 2020, Komunitas Kaum Pekerja Desak Pembatalan RUU Cipta Kerja

Namun ada yang berbeda dengan peringatan Hari Buruh pada 1 Mei 2020 hari ini.

Pasalnya, Hari Buruh tersebut jatuh di tengah masa pandemi Virus Corona yang menyebabkan masyarakat terpaksa harus diam di rumah.

Agar tetap bisa bersuara namun tanpa harus berkerumun, sejumlah aktivis menelurkan ide untuk melakukan aksi secara virtual.

Dilansir Kompas.com, Kamis (30/4/2020), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), akan menyampaikan tuntutannya secara serentak melalui platform media sosial.

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) FSPMI, Riden Hatam Aziz, menyatakan bahwa pihaknya tidak akan melakukan aksi unjuk rasa secara langsung.

"Untuk Mayday besok kami tidak melakukan unjuk rasa atau aksi di tempat-tempat umum atau di gedung-gedung pemerintahan. Kami melakukan aksi di medsos," terang Riden saat dikonfirmasi, Kamis (30/4/2020).

"Kami sudah menginstruksikan ke seluruh anggota, mulai sekarang sampai puncaknya 1 Mei akan full menyuarakan aksi di medsos," imbuhnya.

Pandemi Virus Corona memaksa masyarakat untuk mengurangi aktivitas demi memutus rantai penyebaran Covid-19.

Pemerintah telah melarang masyarakat untuk berkerumun atau berkumpul bersama dalam satu lokasi.

Memahami kondisi yang tengah terjadi saat ini, FSPMI tidak akan menggelar unjuk rasa seperti tahun-tahun sebelumnya.

DPR Berencana Sahkan RUU Berpolemik, Ahmad Hanafi: Seolah Ambil Kesempatan Mumpung Lagi Covid-19

Namun agar tetap dapat menyuarakan aspirasinya, FSPMI akan melakukan aksi melalui media sosial Facebook, Twitter, Instagram, dan grup Whatsapp.

Tema yang diusung oleh FSPMI dalam peringatan Hari Buruh pada tahun 2020 ini adalah "Penggalangan Dana for Solidarity Pangan dan Kesehatan".

Dalam peringatan tersebut, FSPMI akan menuntut mengenai penolakan terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Mereka juga akan menyuarakan penolakan pemutusan hubungan kerja (PHK) efek dari pandemi Covid-19, dan meminta agar buruh yang dirumahkan tetap mendapat gaji dan THR yang dibayar penuh.

Dalam aksi secara virtual tersebut, anggota FSPMI akan diminta untuk membuat tagar dengan kata-kata yang sama secara serempak.

Mereka diharapkan mengunggah tulisan, gambar, atau video dan memasang tagar #TolakOmnibusLaw, #StopPHK dan #LiburkanBuruhDenganUpahTHRPenuh.

"Setiap anggota secara serentak wajib nge-tweet, update status Facebook dan Instagram pada tanggal 1 Mei di jam 04.00 dan 12.00 WIB," tandas Riden.

Isu Penolakan RUU Cipta Kerja

Dalam peringatan hari buruh, biasanya para pekerja akan menyuarakan sejumlah isu terkait kesejahteraan para buruh.

Untuk tahun 2020 ini, yang tengah ramai menjadi sorotan adalah mengenai RUU Cipta Kerja (Omnibus Law Cipta Kerja) yang menimbulkan polemik.

Pasalnya, RUU tersebut dinilai kurang memperhatikan kesejahteraan buruh karena dirasa terlalu memihak pada kepentingan investor.

Aksi Gejayan Memanggil, Massa Mulai Ramai Berdatangan Tuntut RUU Omnibus Law Cipta Kerja

Dilansir Kompas.com, Jumat (1/5/2020), Sekjen Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), Ikhsan Raharjo bahkan mengatakan bahwa RUU tersebut berpotensi menciptakan perbudakan modern.

"Semangat perbudakan modern itu sangat kuat terasa dalam draf yang kita semua bisa baca hari ini," ujar Ikhsan.

Oleh karenanya, sejumlah pihak telah mendesak pembatalan RUU tersebut karena dinilai akan berdampak buruk pada kesejahteraan para buruh.

Salah satunya adalah Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) yang menyatakan ketidaksetujuannya akan RUU tersebut.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum FBLP, Jumisih, yang mengatakan bahwa pihaknya gencar menggaungkan kampanye pembatalan RUU tersebut.

Ia menyebutkan bahwa kampanye pembatalan tersebut merupakan strategi agar pemerintah segera mengambil sikap.

Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elotos, yang turut mendesak pembatalan RUU Cipta Kerja.

"Sejak dari awal selain proses dan kemudian kontennya juga sangat bertentangan dengan konstitusi negara kita yaitu Undang-Undang Dasar dan kemudian Pancasila," tutur Nining.

Ia menyoroti pemerintah yang masih melakukan pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah pandemi Virus Corona.

Menurutnya, tindakan tersebut sangat tidak tepat dan meminta agar pemerintah lebih fokus menangani pandemi Covid-19 dahulu.

Berikut adalah sejumlah aturan dalam RUU Cipta Kerja yang menjadi bahan kontroversi diantara masyarakat.

Pertama, ketentuan pengupahan dalam RUU Cipta Kerja yang berbeda dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Draf tersebut dikhawatirkan dapat menjadi dasar untuk menghapuskan upah, minimum kabupaten atau kota karena menghitung upah berdasarkan atas satuan kerja dan satuan waktu.

Kedua, ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan soal kontrak kerja yang dihapus dalam RUU Cipta Kerja.

Ini berarti semua jenis pekerjaan baik mikro maupun makro, secara sah diperbolehkan untuk mempekerjakan buruh dengan sistem kontrak.

Ketiga, penghapusan pasal-pasal yang mengatur outsourcing.

Hal itu berpotensi menyebabkan semua pekerjaan bisa menggunakan sistem outsourcing.

Padahal, aturan soal outsourcing yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan sudah memiliki aturan turunan yang lebih spesifik dalam Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2019.

Keempat, dihapuskannya sanksi pelanggaran pengupahan yang ada dalam Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.

Penghapusan itu semakin memperbesar celah perusahaan untuk mempekerjakan buruh dengan upah di bawah minimum.

Kelima, jaminan kesehatan yang tak lagi diatur sebagai kewajiban pengusaha di draf RUU Cipta Kerja. (TribunWow.com/ Via)