Virus Corona

Dalam 1 Bulan, Virus Corona di Yogyakarta Jadi 62 Kasus Positif, 22 Orang Sembuh

Editor: Lailatun Niqmah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi penanganan wabah Virus Corona

Awal April, kondisi mulai berubah.

Aktivitas warga mulai nampak dan jalanan kota bahwa ramai kembali pekan kedua bulan ini.

Imbuan social distancing tidak lagi ketat diterapkan.

“Saya sudah mulai operasional lagi sejak delapan hari yang lalu, meskipun orderan masih sepi tapi driver-nya banyak,” kata Trisna, seorang pengemudi ojek online.

Aktivitas ojek online dan warga beribadah tanpa mengindahkan imbauan jaga jarak, adalah wujud tidak adanya kewaspadaan.

Fenomena ini menandakan ada persoalan komunikasi resiko yang tidak tersampaikan.

Penilaian ini disampaikan pakar epidemiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Riris Andono Ahmad.

“Pada outbreak, isunya adalah isu praktikal, teknis. Dan harus ada kejelasan apa yang harus dilakukan secara praktis."

"Nah, ini harus ada strategi komunikasi resiko yang jelas, dan seharusnya pada level sistem kesehatan yang menanganinya dan itu kemudian dimonitor, respon masyarakat seperti apa,” kata Riris.

Meski tidak mau membandingkan, Riris memberi contoh apa yang dilakukan di China, Korea Selatan, Taiwan dan Vietnam sebagai model yang bisa ditiru.

China diuntungkan oleh pemerintahan yang cenderung otoriter, tetapi di sisi lain respon mereka cepat.

Korea Selatan dan Taiwan berhasil karena mampu membangun sistem informasi terpadu yang mengaitkan data berbagai bidang.

Sementara Vietnam diuntungkan oleh respons cepat sehingga mampu memotong penyebaran wabah.

“Korea Selatan mengatakan, kuncinya adalah data dan transparansi. Itu yang menyebabkan mereka bisa melakukan respon dengan cepat dan terkoordinasi,” kata Riris.

Ketika ada informasi dari pemerintah, masyarakat akan memberikan respon.

Perlu informasi baru sebagai respons balik, sebab jika tidak masyarakat akan kebingungan.

Upaya masyarakat melakukan lockdown jalan kampung adalah salah satu bentuk kebingungan itu, karena mereka tidak menemukan jawaban dari ketidakjelasan informasi.

Dalam wabah, kata Riris, informasi dan komunikasi risiko harus dilakukan terus menerus.

“Yang sekarang terjadi sebenarnya bukan isu karena kekurangan informasi, justru masyarakat kelebihan informasi dari media sosial dan media massa yang seringkali kontradiktori, ada hoaks dan sebagainya."

"Mereka menjadi bingung, mana yang seharusnya dipercaya. Seharusnya ada otoritas yang bisa memberikan informasi langsung ke setiap rumah tangga,” tambah Riris.

Masyarakat harus memiliki panduan praktis, tentang apa yang harus dilakukan selama wabah melanda. Panduan itulah yang belum ada sampai saat ini, lanjut Riris. Tidak hanya di Yogyakarta, itu adalah fenomena di masyarakat secara nasional. [ns/ab]

Artikel ini telah tayang di VOA Indonesia dengan judul "Sebulan Corona di Yogyakarta, Dari Satu Kasus Menjadi 62"