Perppu UU KPK

Refly Harun Jelaskan Ada Pasal yang Sengaja Diselipkan di UU KPK, Sebut Adanya Monster Baru

Penulis: Roifah Dzatu Azma
Editor: Tiffany Marantika Dewi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pakar Hukum Tata Negara, Refky Harun menuturkan dalam Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi ada pasal yang sengaja diselipkan.

TRIBUNWOW.COM - Pakar Hukum Tata Negara, Refky Harun menuturkan dalam Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi ada pasal yang sengaja diselipkan.

Diketahui, UU KPK otomatis berlaku terhitung 30 hari setelah disahkan di paripurna DPR, Selasa (7/9/2019) lalu, meskipun tanpa tanda tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Refly Harun Kritik Solusi Mahfud MD soal Nurul Ghufron: Perppu UU KPK Harusnya Hilangkan Semua

Refly Harun lantas mengatakan adanya UU KPK hasil revisi dapat melemahkan KPK sendiri.

Yakni dalam UU KPK revisi, ada dewan pengawas.

Menurutnya, dewan pengawas yang dibentuk dan dilantik membuat OTT KPK semakin diperlemah.

"Setelah adanya dewan pengawas, maka ketentuan-ketentuan mengenai izin itu berlaku," kata Refly Harun.

Disinggung Refly Harun, terkait pasal penyadapan.

"Di situ dikatakan untuk melakukan penyadapan kan izin dewan pengawas," kata Refly Harun.

"Tapi ternyata tidak hanya izin dewan pengawas, izin penyadapan baru bisa diberikan, itu dalam pasal penjelasannya, setelah gelar perkara di hadapan dewan pengawas."

Mahfud MD Tanggapi soal Nurul Ghufron yang Terancam Gagal Dilantik Gara-gara UU KPK, Ini Solusinya

Sehingga menurut Refly Harun, OTT sulit untuk dilakukan KPK.

"Artinya kita tidak bisa berharap lagi kasus-kasus baru yang di-OTT, karena kita tahu OTT dan penyadapan kan satu paket."

"Tidak mungkin kita meng-OTT orang tanpa kita menyadap terlebih dahulu, karena kita tidak tahu konteksnya," paparnya Refly Harun menjelaskan.

"Nanti kalau sudah ada kasus baru itu tidak mungkin diberikan izin oleh dewan pengawas karena belum gelar perkara padahal kita tahu gelar perkara itu sudah ada 2 alat bukti minimal untuk ditingkatkan jadi tahap penyidikan, kan sudah ada tersangkanya dan lain sebagainya," ujar Refly Harun.

Sehingga pasal itu menurut Refly Harun telah sengaja diselipkan di UU KPK.

"Ini yang menurut saya memang pasal yang sengaja diselipkan, kebetulan di penjelasan, untuk melemahkan proses penindakan oleh KPK," ujar Refly Harun.

"Setelah dewan pengawas terbentuk, berarti KPK tidak flesksibel lagi melakukan proses penindakan, pertama izin penggeledahan, izin penyitaan, harus ke dewan pengawas, 1x24," paparnya kembali.

"Lalu nanti belum tentang ASN nya, kedudukan di bawah presidennya, dewan pengawasnya. Itu bisa memproses pelanggaran kode etik, tidak hanya KPK tapi juga pegawai," ujarnya.

Pakar hukum tata negara, Refly Harun dan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD bicarakan UU KPK. (YouTube tvOneNews)

Ia pun menyebut bahwa dewan pengawas sebagai monster baru.

"Maka kalau kita bicara chek and balance, maka dewan pengawas itu monster baru, yang unchek dan unbalance."

"Justru pimpinan KPK yang kemarin itu sebagai lembaga extra ordinary punya kekuasaan yang lumayan super powerfull sekarang dia subkoordinat dengan dewan pengawas," pungkasnya.

Lihat videonya dari menit ke 3.37:

UU KPK Resmi Berlaku

Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi mulai berlaku Kamis (17/10/2019).

Dikutip TribunWow.com dari Kompas.com, Kamis (17/10/2019), peresmian berlaku UU KPK itu tanpa dibubuhi tanda tangan Presiden Jokowi.

Hal ini karena UU itu otomatis berlaku terhitung 30 hari setelah disahkan di paripurna DPR, Selasa (7/9/2019) lalu.

Padahal, UU KPK dikritik sejumlah pihak tak terkecuali KPK sendiri.

UU KPK, dinilai mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja lembaga antikorupsi itu.

Satu di antaranya mengenai dewan pengawas yang mana penyadapan harus seizin dewan pengawas.

Hal ini menurut KPK dapat mengganggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan.

Petugas menunjukkan barang bukti berupa uang terkait operasi tangkap tangan (OTT) Kementerian Pemuda dan Olahraga ke Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) di gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/12/2018). KPK menetapkan lima orang tersangka yakni Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johnny E Awuy, Deputi IV Kemenpora, Pejabat pembuat komitmen Kemenpora AdhinPurnomo, dan Staf Kemenpora Eko Triyatno serta mengamankan barang bukti Rp 7,318 Miliar terkait penyaluran bantuan Kemenpora kepada KONI tahun anggaran 2018. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Bahas soal Dewan Pengawas di UU KPK, Mahfud MD Sindir DPR: Pintar Tuh Nambahin Pasal di Tengah Malam

Selain itu, kewenangan KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks.

Dari keseluruhan, pihak KPK menemukan 26 poin di dalam UU hasil revisi yang bisa melemahkan kerja KPK dalam pemberantasan korupsi.

Para pimpinan KPK, pegiat antikorupsi hingga mahasiswa pun menuntut Jokowi mencabut UU KPK hasil revisi lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Jokowi sempat mengatakan akan mempertimbangkan perppu UU KPK.

Akan tetapi penolakan perppu UU KPK dilayangkan para DPR dan partai politik pendukungnya.

Hingga sampai Rabu (16/9/2019) kemarin perppu tidak kunjung diterbitkan Jokowi.

Saat ditanya oleh sejumlah awak media pun Jokowi tampak diam dan hanya tersenyum.

(TribunWow.com/ Roifah Dzatu Azmah)