"5 presiden, relatively menurut saya kurang berhasil dalam pemberantasan korupsi itu."
"Nah salah satu titik poinnya adalah KPK yang salalu 'diganggu' untuk pemberantasan korupsi," ungkapnya.
Menurut Refly Harun, masyarakat menilai seperti ada upaya pelemahan KPK.
"Masyarakat menilai kalau sesungguhnya, kalau kita baca protes dan lain sebagainya, memang seperti ada upaya untuk melemahkan, baik dari dalam maupun dari luar," katanya.
Refly Harun kemudian menyinggung upaya-upaya yang ia maksud.
Termasuk lobi-lobi politik terkait seleksi pimpinan KPK.
"Dari dalam misalnya begini, sudah menjadi rahasia umum, biasanya dalam pemilihan komisioner KPK itu lobi politiknya itu mulai dari pembentukan Pansel sampai kemudian terpilih," ujar Refly Harun.
"Termasuk yang sekarang?," tanya pembawa acara.
"Ya dan biasanya yang terpilih itu sosok yang paradoksal," jelas Refly Harun.
"Saya bahasanya halus, sosok yang bukan berada dalam ruang imajinasi publik," tambahnya.
Ia kemudian mempertanyakan bagaimana cara memenuhi asas transparansi dan partisipatif.
"Yang sebenarnya, seharusnya pada waktu-waktu yang masuk akal," kata Refly Harun.
"Itu konteksnya, lalu kemudian kalau kita bahas konteks lain, itu soal trust, kepercayaan."
"Kan sebelum ini kan ditandai dengan konteks terdahulu, dahulu juga ada draft-draft RUU itu, yang sebelumnya 12 tahun KPK cuma diberikan waktu."
"Kemudian bisa menyidik Rp 5 miliar ke atas dan sebagainya, ya yang kalau diterapkan, nganggur KPK," sambung Refly Harun.
Sementara itu, terkait teks, Refly Harun menyoroti soal kewenangan Dewan Pengawas KPK.
"Sekarang pertanyaannya, ada poin tentang dewan pengawas, ada poin tentang SP3, ada poin pegawai di-ASN-kan," ujar Refly Harun.
"Saya lihat misalnya dewan pengawas, saya merasa ada sedikit misleading di masyarakat, dan mungkin RUU itu."
"Kita bicara dewan pengawas, tapi sesungguhnya kalau kita bicara materinya itu dewan perizinan."
"Karena tugas dari dewan pengawas itu memberikan izin untuk penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan," tambahnya.
Refly Harun kemudian menyoroti soal teknis penyadapan dan OTT yang dilakukan KPK.
"Kira-kira, kalau mau ada transaksi, ada peristiwa tindak pidana korupsi, suap misalnya," tutur Refly Harun.
"Kalau izin menyadap, catch up enggak? Sudah lari itu buruannya, kira-kira begitu."
"Nah ada soal-soal seperti itu, jadi pengawasan is a must, tapi saya bicara pengawasan bukan pada lembaga, tapi sistem."
"Nah kalau saya bicara sistem pengawasan, tidak ada lembaga di republik ini yang tidak diawasi, hanya barang kali tidak efektif," imbuhnya.
Menurut Refly Harun, pengawasan selama ini sudah diterapkan.
Misalnya oleh masyarakat, DPR, BPK, pengadilan (praperadilan), pengadilan tipikor, dan pengawas internal.
"Jadi ada 6 pengawasan di KPK tersebut, yang menurut saya sebenarnya ini yang harus didaya fungsikan," ungkapnya.
(TribunWow.com/Lailatun Niqmah)