Sehingga sekali lagi, Jokowi yakin DPR akan mendengar suara masyarakat.
"Masyarakat kalau ingin menyampaikan materi-materi ke DPR. Saya kira akan mendengar itu," yakin dia.
Lihat video mulai menit ke-2:48:
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyebut bahwa banyak pasal, dari Revisi Kitab undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang miliki kalimat multitafsir.
Bahkan Asfinawati juga menyebut pasal dalam RKHUP tidak jauh berbeda dengan aturan di masa kolonial Belanda.
Pernyataan itu ia sampaikan pada acara Apa Kabar Indonesia Pagi yang tayang di tvOne.
Acara tersebut juga diunggah di channel YouTube Talk Show tvOne yang tayang pada Sabtu (21/9/2019).
• RKUHP Berpotensi Runtuhkan Pilar Negara, Ketua Dewan Pers: Demokrasi Butuh Check and Balance
• Sebut Membuat RKUHP Tidak Mudah, Pakar Hukum UGM Benarkan Keputusan Jokowi Tunda Pengesahan
Di acara tersebut Asfinawati mengakui, bawah pembuatan KUHP bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan proses yang panjang.
Selain itu Ia juga menilai bawah KUHP adalah aturan yang tidak bisa disamakan dengan hukum-hukum biasa.
"Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini berbeda dengan hukum biasa, dia pasti akan mencabut Hak Asasi Manusia (HAM) orang tapi diperbolehkan oleh negara," jelas Asfinawati.
Karena itulah, Asfinawati menilai bahwa pembuatan KUHP haruslah ketat dan tidak mengandung makna ganda.
"Karena di mana pun pengaturannya harus ketat, harus tidak multitafsir pasal-pasalnya," ucap Asfinawati.
• Anggap Tak Masuk Akal, Hotman Paris Layangkan Protes soal RKUHP Perzinaan: Dimana Logika Hukumnya
Dalam pengamatan Asfinawati mengenai RKUHP, ada beberapa pasal yang dibuat memiliki multitafsir.
Bahkan Alfinawati juga mengumpamakan isi dari RKUHP lebih parah dari peraturan zaman penjajahan Belanda.
"Saya lihat banyak pasal-pasal yang multitafsir, selain itu juga tadi lebih kolonial," ucap Alfinawati.