Banyak Dikecam karena Berbohong, Hal Ini Pelajaran yang Bisa Diambil dari Kasus Dwi Hartanto!

Editor: Galih Pangestu Jati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dwi Hartanto

"Kalau klaim-klaim itu tidak disebarkan ke media, kan tidak perlu klarifikasi," kata Danang. "Penting konfirmasi pengecekan ke beberapa narasumber."

Mau Apa Setelah Kasus Dwi?

Adhitya yang sejak 2010 aktif di I4 dan menyebarkan kisah sukses ilmuwan Indonesia untuk menginspirasi publik mengungkapkan, "harus diakui kisah ini menjadi set back buat kita."

Ia menuturkan, mengumpulkan ilmuwan dan mengajak berkomunikasi pada publik bukan hal yang mudah.

Drama dwi Hartanto dapat membuat minat ilmuwan berkomunikasi pada publik turun.

"Mereka bisa khawatir jika memberikan informasi kepada wartawan. Ilmuwannya khawatir dicap bohong. Padahal yang bohong cuma 1, yang beneran 1000," katanya. Menurutnya, kasus Dwi bisa jadi momentum perbaikan.

Adhit mengajak rekan-rekan ilmuwan untuk tidak patah arang dalam berkomunikasi dan menginspirasi publik.

Bagi pemerintah, kasus Dwi layak jadi momentum untuk meningkatkan perhatian pada sains serta melibatkan peneliti dalam pengambilan kebijakan.

Dari Balik Penjara, Ahok Tahu Dirinya Dapat Karangan Bunga dan Ucapkan Hal Ini!

Menurutnya, penghargaan pemerintah yang paling dibutuhkan peneliti adalah pemberian peran.

Dengan memberikan peran, pemerintah akan mengenal karya-karya peneliti.

"Presiden dalam membuat kebijakan seyogyanya memperhatikan pandangan para ilmuwan, seperti halnya Presiden Obama yang setiap hari berkonsultasi dengan science advisornya," kata Satrio.

Terhadap Dwi Hartanto sendiri, Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), LT Handoko mengungkapkan bahwa publik dan ilmuwan tidak perlu mengutuk Dwi berlebihan.

"Sebaiknya kita biarkan Dwi kembali hidup tenang dan fokus meningkatkan diri untuk masa depannya," kata Handoko. (Kompas.com/Yunanto Wiji Utomo, Lutfy Mairizal Putra, Shierine Wangsa Wibawa)

Berita ini telah diterbitkan oleh Kompas.com dengan judul "Kasus Dwi Hartanto, Haruskah Kita "Menguliti" dan "Membunuhnya"?"