Breaking News:

Konflik Rusia Vs Ukraina

Putin Labrak Menterinya di Depan Publik saat Rapat Pemerintah Rusia: Untuk Apa Kamu Bermain-main?

Presiden Rusia Vladimir Putin secara frontal 'menyentil' salah satu menterinya yang ia nilai tidak bekerja dengan benar.

Penulis: anung aulia malik
Editor: Lailatun Niqmah
YouTube Guardian News
Presiden Rusia Vladimir Putin menggelar rapat dengan sejumlah pejabat pemerintahan Rusia, Rabu (11/1/2023). 

TRIBUNWOW.COM - Presiden Rusia Vladimir Putin tampak kesal dan jengkel saat melakukan rapat bersama pemerintahannya pada Rabu (11/1/2023).

Putin menagih hasil kerja yang tengah dilakukan oleh Menteri Perdagangan dan Industri Rusia, Denis Manturov.

Dikutip TribunWow dari bbc, selama beberapa menit Manturov disemprot oleh Putin di hadapan para pejabat pemerintahan Rusia yang lain.

Baca juga: Ukraina Bantah Kalah Lawan Tentara Bayaran Rusia di Soledar, Grup Wagner Pamer Video Kemenangan

Putin menuding buruknya birokrasi di bawah Manturov yang menyebabkan lambannya pemesanan pesawat sipil dan militer.

"Terlalu lama, ini sudah terlalu lama," ucap Putin.

"Untuk apa kamu bermain-main? Kapan kontraknya akan ditandatangani?" tanya Putin.

Selama beberapa kali Putin menginterupsi Manturov ketika sang menteri memaparkan detail rencana terkait pesawat, helikopter, dan perahu.

Manturov sendiri bukanlah orang baru dalam pemerintahan Putin.

Ia sudah menjadi bagian dari menteri-menteri Putin sejak tahun 2012 silam.

Manturov kerap berpergian ke luar negeri bersama Putin.

Diketahui, Manturov mencetuskan sebuah program untuk memproduksi mesin helikopter di St Petersburg yang dulunya dibuat di Ukraina.

Namun Putin protes karena proses pembuatan terlalu lama.

Menjawab protes Putin, Manturov menjanjikan akan melakukan yang terbaik.

Tetapi respons Putin seolah tidak puas akan jawaban Manturov.

"Tidak, lakukan itu dalam waktu satu bulan. Tidak kah Anda sadar situasi kita saat ini? Ini harus selesai dalam sebulan," tegas Putin.

Baca juga: 100 Tentara Ukraina akan Dikirim ke AS, Dilatih Gunakan Sistem Rudal Patriot untuk Melawan Rusia

Perang di Ukraina Diprediksi Membesar

Di sisi lain, posisi Jenderal Sergey Surovikin sebagai komando tertinggi pasukan Rusia di Ukraina kini telah digantikan oleh Valery Gerasimov.

Gerasimov sendiri merupakan panglima pasukan militer Rusia yang menjadi pimpinan tertinggi angkatan bersenjata Rusia.

Dikutip TribunWow dari aljazeera, pergantian komando ini diumumkan oleh Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu, Rabu (11/1/2023).

Pergantian komando ini disebut-sebut merupakan pertanda bahwa perang antara Rusia dan Ukraina akan semakin membesar dan berbahaya.

Prediksi ini disampaikan oleh Dmitry Trenin yang merupakan analis politik di Moskow.

"Penunjukan Gerasimov menunjukkan pentingnya operasi dan ruang lingkup operasi dapat berkembang melampaui apa yang kita lihat sekarang. Itu sangat signifikan," ujar Trenin.

"Perang semakin membesar, semakin berbahaya," kata Trenin.

Di sisi lain, Surovikin yang dicopot dari komando tertinggi operasi militer Rusia di Ukraina kini berperan menjadi wakil Gerasimov.

Total hanya tiga bulan Surovikin memegang komando tertinggi dalam operasi militer Rusia di Ukraina.

Selama tiga bulan tersebut, Surovikin sempat menunjukkan keganasannya menyerang sejumlah infrastruktur Ukraina yang menyebabkan krisis energi di beberapa kota di Ukraina.

Namun Surovikin juga disalahkan atas mundurnya pasukan militer Rusia dari Kherson hingga serangan yang menewaskan 89 tentara Rusia di Makiivka.

Baca juga: Italia Belum Putuskan tentang Pasokan Senjata untuk Ukraina hingga Februari, Ini Alasannya

Sebelumnya diberitakan, bukan hal yang mustahil jika nanti Ukraina dipaksa oleh negara-negara barat untuk berdamai dengan Rusia.

Prediksi ini disampaikan oleh dua mantan menteri pemerintah Amerika Serikat (AS) yakni mantan Menteri Sekretaris Negara AS, Condoleezza Rice dan mantan Menteri Pertahanan AS, Robert Gates.

Dikutip TribunWow dari rt, kedua menteri ini menjelaskan bagaimana pemerintah Ukraina saat ini kehidupan ekonominya sepenuhnya bergantung kepada bantuan negara asing.

Baca juga: Kehebatan Kendaraan Militer Ukraina Kiriman Prancis, Jerman dan AS, Siap Gempur Rusia di Musim Semi

Apabila pada serangan selanjutnya Ukraina gagal maka ngara-negara barat berpotensi menekan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk berdamai dengan Presiden Rusia Vladmir Putin.

Ukraina sempat menyatakan akan melakukan serangan besar-besaran pada musim semi nanti pada September 2023.

Namun menurut Rice dan Gates, kondisi militer Ukraina saat ini diprediksi tidak akan bisa bertahan lama dari gempuran Rusia.

Di sisi lain, intelijen militer Ukraina mengklaim bahwa Rusia akan memerintahkan mobilisasi tahap kedua untuk mengirim tentara wajib militer ke medan perang.

Dilansir TribunWow.com, setelah memberlakukan wajib militer pada bulan Oktober 2022, Rusia disebut akan melakukan hal yang sama pada Januari 2023 ini.

Meski Presiden Rusia Vladimir Putin membantah, namun sejumlah pengamat maupun konten kreator pro-Moskow menilai hal tersebut tak akan terelakkan lagi.

Baca juga: Ajukan Syarat Khusus, Putin Buka Kesempatan untuk Bahas Perdamaian Rusia dengan Ukraina

Seperti dikutip dari The Guardian, Minggu (8/1/2023), 300.000 tentara wajib militer telah dipanggil untuk berperang pada tahun lalu.

Kini, pemerintah Rusia dikabarkan akan memerintahkan sebanyak 500.000 wajib militer untuk dikirim ke Ukraina.

Jika benar terjadi, hal ini disinyalir jelas menandakan bahwa Putin tidak berniat mengakhiri perang.

Jika perkiraan tersebut terbukti benar, maka Rusia akan memiliki kekuatan hampir dua kali lipat sebelum perang dalam waktu beberapa bulan.

Adapun Intelijen militer Ukraina mengatakan 280.000 pasukan darat Rusia saat ini dikerahkan untuk melawan Ukraina.

Pasukan militer Rusia saat berada di Mariupol, Ukraina. Terbaru, ilustrasi tentara Rusia.
Pasukan militer Rusia saat berada di Mariupol, Ukraina. Terbaru, ilustrasi tentara Rusia. (AFP)

Baca juga: 10 Ribu Tentara Rusia Tewas di Ukraina, Terdiri dari Perwira hingga Wajib Militer, Berikut Detailnya

Vadym Skibitsky, wakil kepala intelijen militer Ukraina, mengatakan pihaknya yakin wajib militer akan menjadi bagian dari serangkaian serangan Rusia selama musim semi dan musim panas di timur dan selatan negara itu.

Skibitsky mengatakan Rusia membutuhkan waktu sekitar dua bulan untuk menyusun formasi militer.

Sementara, kondisi Rusia di medan perang tidak hanya akan bergantung pada seberapa baik perlengkapan dan pelatihan Rusia.

Menurutnya, hal itu juga dipengaruhi dengan pasokan amunisi dan persenjataan barat ke Ukraina untuk melengkapi unit cadangan baru yang sedang disiapkan.

"Jika Rusia kalah kali ini, maka Putin akan runtuh," kata Skibitsky.

Dia mengatakan Ukraina memprediksi gelombang mobilisasi terbaru akan diumumkan pada 15 Januari, setelah periode liburan musim dingin Rusia.

"Mereka menekankan pada jumlah orang dan peralatan dan berharap untuk mengalahkan pihak kita," ucap Skibitsky.

"Kami menduga mereka akan melakukan serangan di wilayah Donetsk dan Kharkiv, serta mungkin Zaporizhzhia, tetapi bertahan di Kherson dan Krimea. Ini adalah jumlah orang yang mereka perlukan untuk tugas seperti itu," imbuhnya seraya menjelaskan mengapa mereka memperkirakan setengah juta orang akan dikerahkan.

Namun, Rusia membantah sedang mempersiapkan gelombang kedua mobilisasi, dengan Putin mengatakan pada bulan lalu bahwa hal tersebut tidak ada gunanya untuk dibahas.

Senada dengan hal itu, Andrey Gurulyov, pensiunan kolonel jenderal Rusia dan wakil Duma, mengatakan bahwa tidak ada alasan atau syarat bagi Moskow untuk mengumumkan mobilisasi kedua dalam enam bulan ke depan.

"Tidak semua orang yang dimobilisasi sebelumnya dikirim ke pertempuran," kata Gurulyov kepada media Rusia, mengacu pada puluhan ribu wajib militer yang menjalani pelatihan militer.

Di sisi lain, beberapa blogger nasionalis pro-perang yang telah memperoleh pengaruh dalam beberapa bulan terakhir mengatakan Rusia tidak punya pilihan selain segera mengumumkan dorongan mobilisasi baru.

Igor Strelkov, seorang komentator ultra-nasionalis Rusia dan mantan perwira intelijen, memperkirakan Moskow akan mengumumkan mobilisasi bulan depan.

"Akan ada gelombang mobilisasi kedua. Kami akan dipaksa untuk melakukan (wajib militer-red) gelombang kedua, dan mungkin gelombang ketiga. Untuk menang di Ukraina, kami perlu memanggil setidaknya setengah juta tentara lagi," kata Strelkov.

Ia menambahkan bahwa gerakan mobilisasi baru akan diadakan pada akhir Februari, pada peringatan dimulainya perang.

Baca juga: Geger Pria Rusia Tembak Petugas Wajib Militer Perang Ukraina, Buat Warga Berhamburan saat Teriak Ini

Ribuan Orang Ditangkap karena Menolak ke Ukraina

Penduduk Rusia berduyun-duyun turun ke jalan di beberapa kota untuk memprotes wajib militer.

Dilansir TribunWow.com, mereka menolak keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk memobilisasi sebagian warga sipil dan pasukan cadangan ke medan perang Ukraina.

Dilaporkan bahwa sejumlah kericuhan terjadi di beberapa titik yang berujung bentrokan antara pendemo dan polisi.

Baca juga: Putin Kirim Warga Sipil Rusia ke Medan Perang hingga Ancam Pakai Nuklir, Begini Tanggapan Ukraina

Hingga saat ini, ribuan orang ditangkap dalam demonstrasi anti-mobilisasi di kota-kota seperti Moskow dan St Petersburg pada Rabu (21/9/2022).

Para pengunjuk rasa di Moskow tersebut meneriakkan "Tidak untuk perang!" dan “Hidup untuk anak-anak kita!".

Sementara itu, di St Petersburg, pengunjuk rasa meneriakkan penolakan terhadap diadakannya mobilisasi atau wajib militer.

"Semua orang takut. Saya untuk perdamaian dan saya tidak ingin harus menembak. Tetapi keluar sekarang sangat berbahaya, jika tidak, akan ada lebih banyak orang," kata seorang pengunjuk rasa, Vasily Fedorov, dikutip Al Jazeera, Rabu (21/9/2022).

"Saya datang untuk mengatakan bahwa saya menentang perang dan mobilisasi," seru mahasiswa bernama Oksana Sidorenko.

"Mengapa mereka memutuskan masa depan saya untuk saya? Saya khawatir atas keselamatan diri saya sendiri, dan saudara saya," tambahnya.

Terlepas dari hukum keras Rusia yang melarang kritik terhadap militer dan perang, protes tetap terjadi di seluruh negeri.

Lebih dari 1.300 orang Rusia ditangkap dalam demonstrasi anti-perang di 38 kota, menurut kelompok hak asasi manusia independen Rusia OVD-Info.

Ribuan orang memadati ruang publik di Rusia untuk melakukan protes atas wajib militer parsial yang diumumkan Presiden Rusia Vladimir Putin, Rabu (21/9/2022). Para pengunjuk rasa tampak berhadapan dengan petugas keamanan yang berusaha menekan massa.
Ribuan orang memadati ruang publik di Rusia untuk melakukan protes atas wajib militer parsial yang diumumkan Presiden Rusia Vladimir Putin, Rabu (21/9/2022). Para pengunjuk rasa tampak berhadapan dengan petugas keamanan yang berusaha menekan massa. (AFP)

Baca juga: Zelensky Sebut Rusia Panik, Tentara Putin Nekat Serang PLTN Ukraina hingga Percepat Referendum

Kantor berita Rusia Interfax mengutip kementerian dalam negeri yang mengatakan telah membatalkan upaya untuk mengorganisir pertemuan yang tidak sah.

Semua demonstrasi dihentikan dan mereka yang melakukan 'pelanggaran' ditangkap dan dibawa pergi oleh polisi sambil menunggu penyelidikan dan penuntutan.

Sebelumnya, gerakan anti-perang Pemuda Demokratik Vesna menyerukan untuk dilangsungkannya demonstrasi.

"Kami menyerukan kepada militer Rusia di unit dan di garis depan untuk menolak berpartisipasi dalam ‘operasi khusus’ atau menyerah sesegera mungkin," kata Vesna di situsnya, merujuk pada perang Rusia-Ukraina.

"Anda tidak harus mati untuk Putin. Kamu dibutuhkan di Rusia oleh mereka yang mencintaimu."

"Bagi pihak berwenang, anda hanyalah umpan meriam, di mana anda akan disia-siakan tanpa makna atau tujuan apa pun.”

Situs web tersebut juga menyertakan bilik aduan untuk tentara di dalam militer yang tidak ingin berpartisipasi dalam perang.

Demonstrasi ini terjadi setelah pidato televisi Putin pada Rabu pagi, yang menyatakan mobilisasi untuk membela wilayah Rusia dan bahwa Barat ingin menghancurkan negara itu.

"Mereka (Rusia) kalah perang, dan mereka ingin melakukan sesuatu agar tidak kalah,” Oleg Ignatov, seorang analis Crisis Group yang berbasis di Moskow, mengatakan kepada Al Jazeera.

"Saya pikir masalah utamanya adalah mereka kekurangan personel di lapangan, mereka tidak memiliki cukup tentara untuk menyerang Ukraina, atau bahkan melindungi daerah yang diduduki. Mereka ingin menutup kesenjangan dengan Ukraina dan itulah mengapa mereka menyatakan mobilisasi."

Karena terdesaknya pasukan baru-baru ini, militer Rusia harus mencari tambahan tentara dari tempat lain.

Adapun menurut data Google Trends, beberapa jam sebelum pengumuman Putin, pertanyaan 'bagaimana meninggalkan Rusia' melonjak di mesin pencari, seperti halnya pertanyaan 'bagaimana mematahkan lengan sendiri'.

Bahkan, pada hari Rabu, semua penerbangan ke Istanbul dan hampir semua penerbangan ke Yerevan terjual habis.(TribunWow.com/Anung/Via)

Berita terkait Konflik Rusia Vs Ukraina

Sumber: TribunWow.com
Tags:
Vladimir PutinRusiaUkrainaVolodymyr ZelenskyPresiden Rusia
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved