Breaking News:

Konflik Rusia Vs Ukraina

Pakar Ungkap Apa yang akan Terjadi pada Konflik Rusia Vs Ukraina jika Tiba-tiba Putin Lengser

Pakar menjelaskan apa yang akan terjadi pada konflik Rusia Vs Ukraina dalam skenario jika Putin tiba-tiba tak lagi berkuasa.

Penulis: anung aulia malik
Editor: Rekarinta Vintoko
Anton Novoderezhkin / SPUTNIK/AFP
Presiden Rusia Vladimir Putin saat acara parade hari kemenangan di Saint Petersburg, 9 Mei 2022. Terbaru, pakar menjawab apa yang terjadi jika Putin tiba-tiba lengser dari kekuasaannya. 

TRIBUNWOW.COM - Akankah perang Rusia Vs Ukraina berakhir jika Presiden Rusia Vladimir Putin tak lagi berkuasa?

Analis, politisi senior, sekaligus peneliti di Korporasi RAND, Shawn Cochran berusaha menjawab skenario ini.

Dikutip TribunWow dari Skynews, Cochran telah menganalisa sikap dari 85 pimpinan negara yang memimpin di saat negara mereka terlibat perang.

Baca juga: Wakil PBB: Rudapaksa dan Kekerasan Seksual Dipakai Rusia sebagai Bagian Strategi Militer di Ukraina

Menurut Cochran pemimpin yang baru rentan terhadap tekanan domestik terkait langkah menghentikan perang.

Untuk menghindari tekanan tersebut, para pemimpin yang baru diketahui akan berperilaku menyesuaikan situasi dan kondisi.

Cochran menyampaikan, untuk menghindari disalahkan masyarakat jika perang berakhir tidak sesuai yang diinginkan, para pemimpin negara akan terus berperang meskipun harapan untuk menang sangat tipis.

"Banyak pemimpin baru berperilaku seperti pendahulu mereka dan terbukti tidak mampu atau tidak mau mengurangi kerugian negara dan mencari perdamaian," ujar Cochran.

Cochran menerangkan, akan sangat berisiko bagi penerus Putin jika tiba-tiba mengeluarkan kebijakan menghentikan perang.

"Ini berlaku bahkan untuk penerus yang menentang atau tidak secara terbuka mendukung perang Putin sebelum menjabat. Dengan demikian, perang Putin mungkin akan berlanjut tanpa Putin," pungkas Cochran.

Di sisi lain, Putin mengatakan tidak ada rencana untuk menyerang Ukraina secara besar-besaran dalam waktu dekat.

Dilansir TribunWow.com, Putin mengatakan bahwa mobilisasi militer warga Rusia juga akan dihentikan dalam beberapa minggu.

Di sisi lain, Putin menekankan bahwa pihaknya tidak memiliki niat untuk bentrok langsung dengan NATO.

Namun ia juga mengaku tak menyesal dan membantah berencana untuk menghancurkan Ukraina.

Baca juga: Dokumen Rusia Bocor, Terungkap Rancangan Rekonstruksi Mariupol setelah Berhasil Direbut dari Ukraina

Dilaporkan Al Jazeera, Jumat (14/20/2022), Putin menyatakan hal tersebut pada konferensi pers di ibukota Kazakhtan, Astana.

Ia mengatakan bahwa 'mobilisasi parsial' yang diumumkan bulan lalu, telah selesai dan akan berakhir dalam waktu dua minggu.

Pasalnya, kuota 300.000 tentara, seperti kata menteri pertahanan Rusia sebelumnya, sudah akan terpenuhi.

Sejauh ini, 222.000 orang dari kebutuhan 300.000 pasukan cadangan telah dimobilisasi.

Sebanyak 33.000 sudah berada di unit militer, dan 16.000 terlibat dalam operasi militer di Ukraina.

Putin menegaskan bahwa mobilisasi tersebut bukanlah rencana serangan besar-besaran terhadap Ukraina.

Disebutkan bahwa untuk saat ini Kremlin tidak memiliki tujuan untuk menghancurkan negara itu.

"Tidak perlu adanya serangan besar-besaran untuk saat ini. masih banyak tugas lain. Untuk sekarang. Dan kemudian akan menjadi jelas,” kata Putin kepada wartawan setelah pertemuan puncak negara-negara bekas Soviet di Kazakhstan.

"Kami tidak memiliki tujuan untuk menghancurkan Ukraina."

Kondisi ibu kota Ukraina, Kyiv setelah dihantam puluhan rudal Rusia pada Senin (10/10/2022) pagi.
Kondisi ibu kota Ukraina, Kyiv setelah dihantam puluhan rudal Rusia pada Senin (10/10/2022) pagi. (YouTube Al Jazeera English)

Dalam kesempatan yang sama, Putin mengatakan bahwa setiap bentrokan langsung pasukan NATO dengan Rusia akan mengarah pada bencana global.

"Saya berharap mereka yang mengatakan ini cukup pintar untuk tidak mengambil langkah seperti itu," ujar Putin.

Di sisi lain, ia secara yakin mengaku tidak menyesal ketika ditanya apakah ada penyesalan setelah memulai konflik di Ukraina.

Alih-alih, Putin mengatakan bahwa Rusia sudah melakukan hal yang benar.

Di sisi lain, mantan direktur jenderal Royal United Services Institute (RUSI), Profesor Michael Clarke memprediksi adanya kemungkinan konflik antara Rusia dan Ukraina dapat berlangsung hingga 50 tahun ke depan.

Dikutip TribunWow dari skynews, Prof. Clarke menjelaskan saat ini adalah episode kedua konflik antara Ukraina dan Rusia, yang mana episode pertama perang terjadi pada tahun 2014 saat Rusia menganeksasi Krimea.

Baca juga: Diklaim Berhasil, Rusia Ungkap Target Serangan Misil Gelombang 2 di Ukraina pada Selasa

Prof. Clarke menduga tahun depan akan ada gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina.

Namun gencatan senjata tersebut tak akan bertahan lama hingga akhirnya pecah perang episode tiga yang nantinya akan dilanjutkan gencatan senjata lagi hingga akhirnya kembali pecah perang.

Prof. Clarke menyebut Rusia tidak akan mengakui adanya negara Ukraina dan mereka tidak akan mengubah pemikirannya.

"Ini kemungkinan akan menjadi perjuangan generasi. Katakanlah itu akan berlangsung 30,40 atau 50 tahun," ungkapnya.

Menurut Prof. Clarke harus ada perubahan besar di sektor keamanan di Eropa, jika tidak konflik akan terjadi selamanya.

Prof. Clarke juga tak menutupi kemungkinan Ukraina merebut kembali wilayah mereka.

Tetapi nantinya para warga Ukraina harus siap hidup di bawah ancaman tetangga mereka yakni Rusia.

"Dan jika ada perang ketiga, itu mungkin akan lebih sulit daripada yang kedua karena pada saat itu keduanya akan mempersenjatai diri," pungkas Prof. Clarke.

Baca juga: Tunawisma hingga Pekerja Migran Rusia Dilaporkan Dijemput Paksa Polisi dan Dikirim ke Ukraina

Kyiv Kembali Diserang

Pada Selasa (11/10/2022), sirine serangan udara berbunyi serentak di seluruh wilayah di Ukraina.

Terdata ada 84 misil yang diluncurkan oleh pasukan militer Rusia.

Sementara itu, stasiun televisi milik pemerintah Rusia menjelaskan bahwa serangan yang terjadi di Kyiv disebabkan oleh sistem pertahanan udara Ukraina.

Diketahui di Kyiv, serangan terjadi di jantung pusat kota yang sibuk selama jam sibuk di pagi hari.

Tubuh seorang pria dengan celana jins tergeletak di sebuah jalan di persimpangan utama, dikelilingi oleh mobil-mobil yang menyala-nyala.

Di sebuah taman, seorang tentara memotong pakaian seorang wanita yang berbaring di rumput untuk mencoba mengobati luka-lukanya.

Dua wanita lain berdarah di dekatnya.

Sebuah lubang besar menganga di sebelah taman bermain anak-anak di taman pusat Kyiv.

Sisa-sisa rudal yang tampak terkubur, berasap di lumpur.

Potret sebuah taman di Ukraina menjadi target serangan misil Rusia pada Senin (10/10/2022).
Potret sebuah taman di Ukraina menjadi target serangan misil Rusia pada Senin (10/10/2022). (YouTube Guardian News)

Baca juga: Sosok Komandan Perang Baru Rusia, Ditunjuk Putin Pimpin Perang Ukraina meski Pernah Dipenjara 2 Kali

Lebih banyak tembakan rudal berlanjut di ibu kota pada pagi hari ketika pejalan kaki berkerumun untuk berlindung di pintu masuk stasiun metro dan di dalam garasi parkir.

Laporan awal dari pejabat di Kyiv menyebutkan jumlah korban setidaknya 11 orang tewas dan 64 orang lainnya terluka, tetapi ada kekhawatiran jumlahnya akan meningkat.

"Mereka berusaha menghancurkan kita dan menghapus kita dari muka bumi," kata Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di aplikasi perpesanan Telegram dikutip Al Jazeera, Senin (10/10/2022).

"Sirine serangan udara tidak mereda di seluruh Ukraina. Ada rudal yang menghantam. Sayangnya, ada yang tewas dan terluka."

Rory Challands dari Al Jazeera, melaporkan langsung dari Kyiv dan melukiskan kengerian yang terjadi.

Ia menyatakan bahwa serangan tersebut merupakan pembalasan Putin atas diledakkannya jembatan Krech sebagai penghubung Rusia dengan semenanjung Krimea.

"Kyiv belum pernah mengalami hal seperti ini selama berbulan-bulan; orang-orang berhenti memperhatikan sirene serangan udara, jadi ini adalah kenyataan yang sangat, sangat berbeda pagi ini," kata

"Faktanya, saya akan mengatakan hal seperti ini tidak terjadi sejak awal perang, dan bahkan pada awal perang, tidak ada banyak serangan pusat seperti yang terjadi hari ini".

"Tidak ada keraguan di sini di Kyiv bahwa ini adalah balas dendam Putin atas jembatan Krimea, dan dia menyerang beberapa target terlemah yang ada, yaitu warga sipil".

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Dmytro Kuleba mencuitkan tanggapan berang atas penyerangan tersebut.

Ia juga terang-terangan menyebut Presiden Rusia sebagai teroris.

"Satu-satunya taktik Putin adalah teror di kota-kota Ukraina yang damai, tetapi dia tidak akan menghancurkan Ukraina. Ini juga tanggapannya kepada semua penolong yang ingin berbicara dengannya tentang perdamaian: Putin adalah teroris yang berbicara dengan rudal," tulis Kuleba.

Walikota Kyiv Vitali Klitschko memposting di media sosial membeberkan mengenai serangan di kotanya.

Ia mengatakan bawa sejumlah distrik sekitar Kyiv juga mengalami serangan sementara beberapa bangunan penting ikut hancur.

"Ibukota sedang diserang oleh teroris Rusia! Rudal menghantam benda-benda di pusat kota (di distrik Shevchenkivskyi) dan di distrik Solomyanskyi. Sirene serangan udara berbunyi, dan oleh karena itu ancaman terus berlanjut," tulis Klitschko.

"Jalan-jalan pusat Kyiv telah diblokir oleh petugas penegak hukum, layanan penyelamatan sedang bekerja."

Menurut Jenderal Valeriy Zaluzhnyi, Panglima Angkatan Bersenjata Ukraina, pasukan nasional telah menembak jatuh setidaknya 41 rudal yang ditembakkan ke Ukraina oleh Rusia.

“Pagi ini, 75 rudal diluncurkan. 41 dari mereka dinetralisir oleh pertahanan udara kami,” tulis Zaluzhnyi di Twitter.(TribunWow.com/Anung/Via)

Berita terkait Konflik Rusia Vs Ukraina

Sumber: TribunWow.com
Tags:
RusiaUkrainaVladimir PutinVolodymyr ZelenskyKonflik Rusia Vs Ukraina
Rekomendasi untuk Anda
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved