Konflik Rusia Vs Ukraina
Biden Dorong Ukraina ke Jalan Sesat, Dubes Rusia Sebut AS Manfaatkan Konflik untuk Uji Senjata Baru
Dubes Rusia di AS menjelaskan bagaimana pemerintahan AS secara terang-terangan memamerkan keberhasilan serangan balik Ukraina karena bantuan mereka.
Penulis: anung aulia malik
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Pemerintah Rusia merasa heran Amerika Serikat (AS) masih membela diri menyatakan tidak terlibat dalam konflik antara Rusia dan Ukraina.
Duta besar Rusia untuk AS, Anatoly Antonov menjelaskan bagaimana pejabat militer dan politisi AS secara gamblang bangga memamerkan keterlibatan mereka menyebabkan Ukraina berhasil meluncurkan serangan balik melawan Rusia.
Dikutip TribunWow dari rt, Antonov menjelaskan saat ini pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah menjadikan Ukraina sebagai tempat pembuangan senjata mereka yang telah usang.
Baca juga: Rusia Sebut Ukraina dan AS Jebak Negara-negara Uni Eropa Jadi Budak Lewat Perjanjian Ini
Selain itu AS memanfaatkan momen konflik di Ukraina untuk melakukan uji lapangan senjata-senjata baru mereka demi keuntungan industri militer AS.
Antonov menyampaikan, AS tidak tertarik kepada solusi damai.
“Tujuan utama mereka (AS) adalah mengalahkan Rusia dengan cara apa pun," ujar Antonov.
"Mereka tidak akan berhenti mendorong Ukraina ke dalam petualangan bunuh diri," jelasnya.
Antonov menegaskan pada akhirnya bantuan senjata AS untuk Ukraina tidak akan berhasil memenangkan Ukraina melawan Rusia.
"Hanya politisi yang naif dan picik yang pengetahuan sejarahnya buruk, dapat berbicara tentang kemenangan atas Rusia di medan perang," tegas Antonov.
Pada Kamis (8/9/2022), AS mengumumkan daftar paket bantuan senjata terbaru untuk Ukraina.
Paket senjata terbaru ini total bernilai 675 juta USD atau setara Rp 10 triliun.
Dikutip TribunWow dari RT, seperti yang diketahui AS telah menyuplai Ukraina senjata sejak Agustus 2021.
Berikut daftar bantuan senjata terbaru dari AS untuk Ukraina:
1. Amunisi Sistem Roket Artileri Mobilitas Tinggi alias High Mobility Artillery Rocket Systems (HIMARS)
2. Misil anti radiasi berkecepatan tinggi (HARM)
3. 36 ribu peluru artileri berukuran 105mm
4. Empat howitzer
5. 100 mobil lapis baja Humvee
6. 1,5 juta peluru
7. Lima ribu roket anti-tank
8. 50 ambulans lapis baja
9. Seribu unit ranjau anti-baja ukuran 155mm
10. Perangkat penglihatan malam (night vision)
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin menjelaskan bahwa bantuan senjata telah membantu Ukraina bertahan dari serangan Rusia.
Austin turut mengajak NATO untuk siap terus membantu pasukan militer Ukraina dalam jangka waktu yang panjang.
Baca juga: 3-10 Tahun Lagi Rusia Diprediksi akan Serang Polandia, Kemenhan Polandia Ungkit Akhir Perang Ukraina

Di sisi lain, pasukan militer Rusia saat ini disebut tengah terpaksa membeli senjata dan peralatan militer dari Korea Utara (Korut) untuk konflik di Ukraina.
Rusia disebut tengah kesulitan menyuplai persenjataan ke pasukan militernya gara-gara efek sanksi.
Dikutip TribunWow dari bbc, temuan ini disampaikan oleh media asal Amerika Serikat (AS) yakni New York Times (NYT).
NYT mengklaim berhasil memeroleh informasi intelijen terkait Rusia yang telah membeli sebanyak jutaan peluru artileri dari Korut.
Namun tidak pasti berapa jumlah persenjataan yang diperoleh Rusia dari Korut.
Seorang pejabat AS menjelaskan kepada Associated Press (AP), bergantungnya Rusia kepada Korut membuktikan bahwa pasukan militer Rusia kini tengah menderita akibat sanksi yang diberikan oleh negara-negara barat.
Korut sendiri telah mengakui kedaulatan Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk.
Kim Jong Un selaku pimpinan tertinggi Korut juga menyatakan bahwa AS lah penyebab terjadinya konflik antara Rusia-Ukraina.
Sebelumnya, pejabat pemerintahan Presiden AS Joe Biden menjelaskan kepada media Rusia telah membeli drone buatan Iran.
Intelijen US juga menduga kuat sejumlah teknisi Rusia pergi ke Iran untuk menjalani pelatihan mengoperasikan senjata Mohajer-6 dan Shahed.
Iran sendiri telah tegas membantah mengirimkan senjata baik ke Ukraina atau ke Rusia.
Baca juga: Sorot Sikap Negara Barat Bela Ukraina, Rusia Khawatirkan Keselamatan Putin saat Terbang ke Indonesia
Sebelumnya komentar pedas dilontarkan oleh media pemerintah Korut terkait isu konflik antara Rusia dan Ukraina.
Negara pimpinan Kim Jong Un itu menilai Amerika Serikat (AS) sebagai provokator yang semakin memperburuk situasi konflik antara Rusia dan Ukraina.
Bahkan media pemerintah Korut tersebut menyebut Presiden AS Joe Biden sebagai kakek tua yang ceroboh.

Baca juga: Ditanya soal Krisis akibat Konflik Rusia, Istri Zelensky Bandingkan Nasib Ukraina dengan Inggris
Dikutip TribunWow.com dari rt.com, pernyataan ini disampaikan oleh kantor berita milik pemerintah Korut yakni Korean Central News Agency (KCNA).
Korut menyoroti bagaimana AS berusaha untuk mendiskreditkan Rusia dalam konflik ini.
KCNA lalu mengungkit bagaimana AS telah membunuh jutaan orang tak bersalah di Afghanistan hingga Irak.
Kemudian KCNA mengungkit momen Biden menyebut Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai penjahat perang dan tak bisa dibiarkan berkuasa.
"Memanggil kepala negara lain sebagai seorang penjahat perang dan diktator pembunuh tanpa alasan yang jelas adalah sebuah penghinaan terhadap negara lain dan pelanggaran nyata terhadap kedaulatan," ujar KCNA.
KCNA lalu menyatakan Biden mengucapkan hal tersebut karena pikun dan ceroboh.
"Ucapannya yang sembrono menunjukkan kecerobohan seorang kakek tua yang pikun," tulis KCNA.
Biden sendiri diketahui saat ini telah berusia 79 tahun.
KCNA lalu menyindir bagaimana masa depan AS berada di tangan seseorang ynag begitu lemah.
Selanjutnya KCNA mengomentari bagaimana sanksi yang diberikan oleh AS kepada Rusia justru pada akhirnya akan merugikan AS sendiri.
Kesehatan Biden Diulas Media Rusia
Sementara itu, media Rusia Radio Sputnik mengulas tentang kesehatan Presiden Amerika Serikat Joe Biden.
Dikatakan bahwa presiden 79 tahun itu mengalami penurunan kemampuan kognitif secara signifikan.
Hal ini menyebabkan Biden memiliki masalah mental yang bisa mengancam pertahanan nasional.
Dilansir TribunWow.com, Kamis (7/4/2022), kabar ini diklaim telah disampaikan oleh mantan staf dokter Gedung Putih, Ronnie Jackson.
Ia mengatakan penurunan kemampuan kognitif Presiden AS Joe Biden merupakan ancaman bagi keamanan nasional.
"Saya tidak mencoba untuk membuat diagnosis, tetapi saya pikir seluruh dunia melihat bahwa dia memiliki beberapa masalah mental," kata Jackson saat bercara kepada saluran TV One America News.
"Saya pikir sesuatu yang jelas terjadi padanya, ini adalah masalah keamanan nasional."
Baca juga: Kematian Eks Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev Diduga Dipicu Trauma atas Konflik Rusia - Ukraina

Jackson menyoroti fakta bahwa Biden baru-baru ini secara terbuka menunjukkan perilaku yang kurang pantas.
Menurut dokter, saat ini, ketika ada kemungkinan konflik langsung dengan Rusia, Presiden AS seharusnya sadar dan memahami sepenuhnya apa yang terjadi.
Dia juga mencatat bahwa Biden harus mengikuti tes untuk fungsi kognitif otak dan mempublikasikan hasilnya.
Hal ini menyusul berita tentang insiden pada bulan Februari di mana Joe Biden diduga telah menghina seorang jurnalis.
Sementara itu, sekitar 40 anggota Kongres dari Partai Republik mengiriminya surat yang merekomendasikan agar kemampuan kognitifnya diperiksa.
Penurunan kognitif tersebut juga terlihat dalam sejumlah pertemuan internasional di mana Joe Biden diklaim mengalami penurunan daya ingat.
Sebelumnya, Joe Biden kedapatan pernah lupa dengan nama mitranya, Perdana Menteri Australia Scott Morrison.
Momen ini terjadi saat AS, Australia dan Inggris mengumumkan pakta keamanan trilateral yang berfokus ke kawasan Asia-Pasifik dan disebut sebagai AUKUS pada Rabu (15/9/2021).
Ketika akan menyudahi acara, Biden menoleh ke Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, untuk mengucapkan rasa terima kasih atas keberhasilan terbentuknya kerja sama baru antara tiga negara itu, dilansir dari The Guardian pada Kamis (16/9/2021).
“Terima kasih, Boris,” kata Biden.
Kemudian, Biden terlihat ragu-ragu saat melihat ke layar televisi yang menayangkan Scott Morrison dalam tautan video.
“Dan saya ingin berterima kasih kepada orang itu,” ungkap Biden sambil menunjuk ke arah Scott Morrison.
“Terima kasih banyak sahabat, saya menghargai itu, Pak Perdana Menteri,” tambahnya.
Sementara, Scott Morrison langsung mengacungkan jempolnya kepada Biden sambil tersenyum sebagai bentuk tanggapannya.
Meskipun pada akhirnya Biden dapat menyebut nama PM Scott Morrison, tetapi hal itu dianggap sudah terlambat karena kesalahannya telah lebih dulu mendapat perhatian.
“Saya merasa terhormat hari ini untuk bergabung dengan dua sekutu terdekat, Australia dan Inggris, untuk meluncurkan fase baru kerja sama keamanan trilateral di antara negara-negara kita,” kata Biden.
“Seperti yang dikatakan Perdana Menteri Morrison dan Perdana Menteri Johnson, saya ingin berterima kasih atas kemitraan ini," tambahnya. (TribunWow.com/Anung/Via)