Konflik Rusia Vs Ukraina
Ungkit Era Perang Dunia 2, Polandia Sindir Prancis dan Jerman karena Telepon Putin di Tengah Konflik
Presiden Polandia mengkritik keras aksi kanselir Jerman dan Presiden Prancis yang menjalin komunikasi via telepon dengan Presiden Rusia.
Penulis: anung aulia malik
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Belakangan ini hubungan Rusia dengan negara-negara barat tengah memburuk karena konflik yang terjadi di Ukraina.
Namun beberapa kali pemimpin negara-negara barat sempat berkomunikasi via telepon dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Dua di antaranya adalah Kanselir Jerman Olaf Scholz dan Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Baca juga: Pemerintah AS Lebih Tahu Kondisi Pasukan Militer Rusia Dibanding Tentara Ukraina
Baca juga: Pernah Dibantu Dikirim Rusia Helikopter, AS Kini Kirim Bantuan dari Putin untuk Ukraina
Dikutip TribunWow.com dari Theguardian.com, aksi Scholz dan Macron menelepon Putin diketahui menuai kritikan keras dan sindiran dari Presiden Polandia Andrzej Duda.
Duda membandingkan kondisi konflik Rusia-Ukraina saat ini dengan zaman perang dunia ke-2 dulu.
"Apakah ada yang berbicara seperti ini dengan Adolf Hitler selama Perang Dunia Kedua? Apakah ada yang mengatakan bahwa Adolf Hitler harus menyelamatkan muka? Bahwa kita harus melangkah sedemikian rupa agar tidak memalukan untuk Adolf Hitler?" ujar Duda.
Pada komunikasi telepon bersama pada 28 Mei, Scholz dan Macron sempat mendesak Rusia agar melepaskan prajurit Ukraina yang ditahan di pabrik baja Azovstal, Mariupol.
Sebelumnya, demi tercapainya perdamaian, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyarankan agar Ukraina dan seluruh negara di dunia tidak mempermalukan Rusia.
Macron mengatakan, apabila Rusia tidak dipermalukan maka ada kemungkinan perang di Ukraina bisa diselesaikan melalui jalur diplomatik.
Menjawab saran dari Macron, pemerintah Ukraina membalas dengan sindiran.
Dikutip TribunWow.com dari Sky News, diketahui Macron menyampaikan saran tersebut bertepatan dengan 100 hari berlangsungnya konflik antara Rusia dan Ukraina yang terjadi sejak Februari 2022 lalu.
"Kita harus jangan mempermalukan Rusia sehingga ketika tiba hari di mana perang berakhir kita bisa membangun jalan keluar lewat jalur diplomatik," ujar Macron.
Macron meyakini Prancis berperan untuk menjadi penengah dalam antara konflik Rusia dan Ukraina.
Saran dari Macron ini telah dijawab oleh Menteri Luar Negeri Dmytro Kuleba.
"Ajakan untuk menghindari mempermalukan Rusia hanya akan mempermalukan Prancis dan seluruh negara lain yang menyetujui ajakan tersebut," ujar Kuleba.
Kuleba meminta kepada seluruh negara agar fokus mengembalikan Rusia di posisinya semula.
Macron sendiri sudah beberapa kali berkomunikasi langsung dengan Presiden Rusia Vladimir Putin lewat sambungan telepon membahas negosiasi antara Rusia dan Ukraina.
Baca juga: 24 Jam Serang Pasukan Ukraina, Rusia Berhasil Kuasai Sebagian Besar Severodonetsk
Baca juga: Inggris Sebut Putin Gunakan Taktik Mirip Hitler dalam Konflik Rusia-Ukraina, Ini Alasannya
Jerman Khawatir Zelensky Kelewat Batas
Jerman diketahui telah bersikap ragu-ragu dalam mengirimkan senjata berat berupa tank ke Ukraina untuk menghadapi serangan pasukan militer Rusia.
Seorang pejabat pemerintahan Jerman mengakui Jerman khawatir jika Ukraina menang melawan Rusia, Ukraina justru akan bersikap kelewat batas karena terlalu percaya diri.
Dikhawatirkan Ukraina akan melakukan serangan masuk ke teritorial Rusia.
Dikutip TribunWow.com dari rt.com, informasi ini disampaikan oleh pejabat pemerintahan yang namanya dirahasiakan ke media massa asal Jerman Der Spiegel.
Apabila hal tersebut terjadi maka akan kembali terulang sejarah serangan tank milik Jerman ke Rusia seperti zaman invasi Nazi ke Uni Soviet pada tahun 1941 silam.
Pejabat pemerintahan Jerman itu mengiyakan bahwa Berlin meragukan sikap Presiden Volodymyr Zelensky.
Sejauh ini negara yang mengirimkan senjata berat berupa tank ke Ukraina baru Polandia hingga Republik Ceko.
Negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS), Inggris dan Prancis belum melakukan hal tersebut.
Di sisi lain, Ukraina mengklaim telah menguasai setengah dari Severodonetsk, di mana pertempuran sengit dengan Rusia berlangsung.
Militer Kyiv berhasil mendorong mundur upaya Rusia untuk merebut kota timur yang menjadi kunci pertempuran untuk wilayah Donbas.
Meski begitu, pihak Ukraina masih mengantisipasi adanya serangan balasan dari Rusia yang mungkin dilancarkan dalam waktu dekat.
Pernyataan ini disampaikan gubernur regional Luhansk Sergiy Gaidai yang menyatakan Ukraina mengalami kemajuan dalam dua hari terakhir.
Kabar ini dibagikannya melalui sebuah wawancara yang diposting di saluran media sosial resminya.
Puncaknya, pada Minggu (5/6/2022), pasukan Kyiv berhasil menguasai setengah wilayah yang diperebutkan.
Akan tetapi mereka memperkirakan akan adanya serangan balasan besar-besaran dari pasukan Rusia dalam beberapa hari mendatang.
"Angkatan bersenjata kami telah membersihkan setengah (wilayah) pusat industri dari pasukan Rusia," kata Gaidai dilansir TribunWow.com dari The Moscow Times, Minggu (5/6/2022).
"Setengah dari kota sebenarnya dikendalikan oleh pasukan kita."
Sebagai informasi, Severodonetsk adalah kota terbesar yang masih berada di tangan Ukraina di wilayah Luhansk, yang merupakan bagian dari Donbas.
Pasukan Rusia secara bertahap maju ke lokasi itu dalam beberapa pekan terakhir setelah mundur dari daerah lain, termasuk di sekitar ibu kota Kyiv.
Setelah didesak kembali oleh serangan Rusia di kota itu, pasukan Ukraina terus-menerus berusaha balas mendorong mundur.
Di sisi lain, Gaidai mengatakan bahwa pasukan Rusia telah ditugaskan untuk menguasai kota pada hari Jumat, begitu juga arteri transportasi utama yang menghubungkan dua kota terdekat lainnya, Lysychansk dan Bakhmut.
"Kami berharap dalam waktu dekat bahwa semua cadangan yang sekarang mereka miliki aksesnya, semua cadangan, semua personel yang mereka miliki, akan mereka tinggalkan untuk melakukan dua tugas ini," kata Gaidai.
"Dalam lima hari ke depan, akan ada peningkatan besar dalam jumlah penembakan dari artileri berat dari pihak Rusia."
Klaim ini dibuat setelah sehari sebelumnya, Gaidai mengabarkan bahwa pasukannya berhasil menguasai 70 persen wilayah Severodonetsk.
"Rusia menguasai sekitar 70 persen kota, tetapi telah dipaksa mundur selama dua hari terakhir," tulis gubernur regional Lugansk Sergiy Gaidai di Telegram.
"Kota ini terbagi dua. Mereka takut bergerak bebas di sekitar kota."
Gaidai juga mengatakan bahwa pasukan Ukraina telah menangkap delapan tahanan Rusia.
Dia mengatakan bahwa jenderal Rusia Aleksandr Dvornikov telah menetapkan target untuk mengambil kendali penuh atas Severodonetsk pada 10 Juni, atau mengendalikan jalan Lysychansk-Bakhmut yang akan membuka jalan ke Kramatorsk, ibu kota wilayah Donetsk.
"Semua pasukan, semua cadangan berkonsentrasi pada dua tugas ini," ujar Gaidai.
Pada hari Sabtu, tentara Rusia telah mengklaim beberapa unit militer Ukraina ditarik dari Severodonetsk.
Tetapi walikota Oleksandr Striuk mengatakan pasukan Ukraina berjuang untuk merebut kembali kota itu.
"Tentara kami telah berhasil mengerahkan kembali (pasukan), dan membangun garis pertahanan," katanya dalam wawancara yang disiarkan di Telegram, Sabtu.
"Kami saat ini melakukan segala yang diperlukan untuk membangun kembali kontrol total atas kota.(TribunWow.com/Anung/Via)