Konflik Rusia Vs Ukraina
Tentara Rusia Dituding Rudapaksa para Wanita di Ukraina Berjam-jam lalu Bunuh Korbannya
Tentara Rusia disebut telah melakukan segala jenis kejahatan perang dalam invasinya ke Ukraina.
Penulis: anung aulia malik
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Mulai dari genosida hingga pencabulan, tentara Rusia disebut telah melakukan berbagai jenis kejahatan perang di Ukraina.
Diketahui hingga Senin (21/3/2022), konflik di Ukraina masih terus berlangsung.
Tudingan ini disampaikan oleh Wakil Perdana Menteri Ukraina untuk integrasi Eropa dan Euro-Atlantik, Olga Stefanishyna.
Baca juga: China, Amerika, dan Uni Eropa, Siapa yang akan Diuntungkan Akibat Konflik Rusia dan Ukraina?
Baca juga: Seperti India, Pakistan Menolak Tunduk pada Tekanan Barat untuk Putuskan Hubungan dengan Rusia
Dikutip TribunWow.com dari Sky News, Olga menyampaikan situasi di Ukraina menjadi semakin parah dari hari ke hari.
"Jumlah korban warga sipil jauh lebih banyak dibandingkan pasukan militer Ukraina," ujar dia.
Olga menegaskan tidak ada warga yang mulai terbiasa dengan perang.
"Kita bertahan, kita melawan dan kita akan menjadi lebih kuat," ujarnya.
Olga mengatakan, Ukraina akan terus berjuang hingga tidak ada lagi teror dan genosida terjadi.
Menyebut Putin seorang penjahat perang, Olga meyakini telah terjadi genosida di Ukraina.
Olga juga mengaku mendapat kabar bagaimana para kaum wanita di Ukraina telah mendapat perlakuan bengis dari tentara Rusia.
"Dirudapaksa hingga berjam-jam lalu dibunuh," kata dia.
"Setiap tentara (Rusia) yang terlibat dalam perang ini akan diminta untuk bertanggung jawab. Kaum wanita Ukraina akan berdiri bersama dan akan menang," pungkasnya.
Olga turut meminta agar para politisi dan tokoh di berbagai dunia ikut andil melawan pasukan Rusia.
Rusia Sebut Terjadi Perang Informasi
Sebelumnya, pada Rabu (16/3/2022) sebuah gedung teater di Mariupol, Ukraina yang difungsikan sebagai tempat penampungan warga sipil hancur seusai dibombardir.
Pemerintah Ukraina menyebut serangan dilakukan oleh pesawat tempur Rusia.
Sementara itu pemerintah Rusia tegas membantah telah melakukan serangan ke gedung teater tersebut.

Baca juga: Beredar Video Warga Dibunuh saat Antre Beli Roti, Rusia Sebut Produk Propaganda Intelijen Ukraina
Baca juga: Rusia Bongkar Bukti Keterlibatan AS Dalam Lab Pengembangan Patogen Berbahaya di Ukraina
Dikutip TribunWOw.com dari Sky News, bantahan ini disampaikan oleh duta besar pemerintah Rusia untuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Vasily Nebenzya.
"Perang informasi sedang terjadi dalam skala yang lebih besar dibanding perang fisik," ujar Nebenzya.
Menurut Nebenzya siapa yang memenangkan perang informasi maka akan memenangkan peran secara keseluruhan.
Nebenzya lalu menyampaikan berdasarkan keterangan para warga sipil yang telah lebih dulu mengungsi keluar dari Mariupol, ada keterlibatan batalion Azov yang menyandera para warga sipil.
Nebenzya juga mengungkit bahwa pemerintah Rusia telah menyadari ada tulisan 'anak-anak' di luar gedung teater di Mariupol.
Seluruh pasukan militer Rusia telah diberitahu bahwa gedung teater tersebut adalah tempat yang dipenuhi warga sipil.
"Tidak pernah dijadikan target serangan," kata Nebenzya.
Nebenzya menyebut, pihak yang harus bertanggungjawab dalam hal ini adalah kelompok ultra nasionalis Ukraina batalion Azov.
Keterangan serupa disampaikan oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova.
"Jelas ini adalah kebohongan. Semuanya tahu bahwa pasukan militer Rusia tidak membombardir kota. Tidak peduli seberapa banyak video yang disebar oleh struktur NATO dan berapa banyak foto dan video klip bohong disebar, kebenaran akan terungkap," jelas Zakharova.
Syarat Rusia untuk Bisa Akhiri Invasi
Perwakilan Tetap Rusia untuk PBB Vasily Nebenzya mengungkapkan hal yang bisa menentukan lamanya invasi ke Ukraina.
Menurut wakil diplomatik Presiden Rusia Vladimir Putin itu, ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi Ukraina.
Dalam waktu dekat, ia pun berencana akan mempresentasikan rancangan resolusi kemanusiaan tentang Ukraina di Dewan Keamanan PBB.
Dilansir TribunWow.com dari media Rusia RIA Novosti, Selasa (15/3/2022), Nebenzya kembali menekankan tujuan negaranya.
Dijelaskan bahwa agresi yang disebutnya operasi militer akan berakhir ketika tujuan Rusia tercapai.
Ia menegaskan terkait tuntutan utama Putin mengenai demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina.
Syaratnya yang dikemukakan juga termasuk tidak adanya ancaman yang berasal dari Ukraina terhadap Rusia dengan tidak bergabung menjadi anggota NATO.
Sebelumnya, Rusia mengajukan hak veto menolak resolusi DK PBB soal penyelesaian konflik.
Karenanya,Rusia kini tengah menyusun resolusi sendiri terkait kemanusiaan untuk diajukan ke pertemuan PBB.
"Kami akan mengusulkan proyek kami sendiri, yang bersifat kemanusiaan. Kami akan segera menyajikannya dalam salinan bersih dan melihat apakah Dewan Keamanan bisa atau tidak untuk memenuhi misinya," kata Nebenzya.
Nebenzya menambahkan bahwa dokumen Rusia akan mencakup ketentuan kemanusiaan yang jelas, seperti menyerukan gencatan senjata yang dinegosiasikan, mengevakuasi warga sipil, menghormati hukum humaniter internasional, mengutuk serangan terhadap warga sipil dan infrastruktur sipil, dan perjalanan warga sipil yang aman dan tanpa hambatan.
Di sisi lain, Vladimir Olenchenko, seorang peneliti senior di Pusat Studi Eropa di IMEMO RAS masih meragukan kemungkinan disetujuinya syarat yang diajukan Rusia.
Ia merasa ragu meski Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyatakan tak akan meminta bergabung dengan NATO lagi.
Dalam siaran radio Sputnik, ia mempertanyakan ketulusan niat Zelensky tersebut.
"Saya berpegang pada pandangan bahwa ketika strategi suatu negara berubah atau harus berubah, ketika kebijakan dalam dan luar negerinya berubah, tokoh-tokoh yang mampu menerapkan ini harus siap."
"Sayangnya, baik Zelensky maupun timnya tidak termasuk dalam definisi ini. Jika ini (batal masuk NATO - red.) adalah keyakinannya, maka itu sudah dilakukan, tetapi ini, menurut saya, hanya tanggapan oportunistik," kata Olenchenko.
Menurut Olenchenko, Zelensky telah berulang kali berubah pikiran tentang isu-isu penting kebijakan dalam dan luar negeri.
Ia pun mengaku ragu apakah presiden 44 tahun tersebut akan benar-benar menarik pendaftaran keanggotaan Ukraina dari NATO.
"Oleh karena itu, saya skeptis tentang pernyataannya, sebagai ketentuan, aturan tersebut berumur pendek dan saling membantah, yang kadang-kadang terjadi dalam waktu hanya sehari," pungkas Olenchenko.(TribunWow.com/Anung/Via)