Breaking News:

Konflik di Afghanistan

Terjebak Krisis, Keluarga Afghanistan Jual Anak Berusia 9 Tahun sebagai Pengantin Seharga Rp 31 Juta

Sebuah keluarga di Afghanistan terpaksa menjual putri mereka berusia sembilan tahun untuk bisa mendapatkan uang guna membeli makanan di tengah krisis.

Penulis: Alma Dyani Putri
Editor: Elfan Fajar Nugroho
YouTube/CNN
Parwana Malik menggambarkan sosok pria yang membelinya sebagai ‘orangtua’ karena janggut dan alisnya sudah putih. Sebuah keluarga di Afghanistan terpaksa menjual putri mereka berusia sembilan tahun untuk bisa mendapatkan uang guna membeli makanan di tengah krisis. 

TRIBUNWOW.COM – Seorang ayah di Afghanistan terpaksa menjual putrinya yang berusia sembilan tahun kepada pria 55 tahun sebagai pengantin anak.

Itu dilakukan karena keluarganya sudah tak bisa membeli makanan dan kehabisan uang, di tengah krisis ekonomi serta kemanusiaan yang semakin memburuk di Afghanistan.

Dilansir TribunWow.com dari Daily Mail, anak berusia sembilan tahun bernama Parwana Malik itu menggambarkan sosok pria yang membelinya sebagai ‘orangtua’ karena janggut dan alisnya sudah putih.

Qorban menyerahkan uang senilai Rp 31 juta, dalam bentuk tunai, domba, serta tanah kepada ayah Parwana, Abdul Malik.
Qorban menyerahkan uang senilai Rp 31 juta, dalam bentuk tunai, domba, serta tanah kepada ayah Parwana, Abdul Malik. (YouTube/CNN)

Baca juga: Seorang Asisten Profesor di Afghanistan Tak Dapat Gaji hingga Jadi Buruh Bangunan untuk Cari Uang

Baca juga: Taliban Terpaksa Bayar Pekerja Pakai Gandum di Tengah Krisis yang Makin Parah di Afghanistan

“Ayah saya telah menjual saya karena kami tidak memiliki roti, beras atau tepung,” kata Parwana ketika bercerita kepada CNN.

“Dia telah menjual saya kepada seorang lelaki tua,” tambahnya.

Parwana yang bercita-cita sebagai guru, sebenarnya berharap agar sang ayah tidak menjualnya karena dia pun tak ingin meninggalkan keluarga dan studinya.

Namun, sayangnya gadis kecil itu harus menghadapi nasibnya, ketika pembeli Parwana, Qorban, tiba di rumah keluarganya pekan lalu.

Qorban menyerahkan uang senilai Rp 31 juta, dalam bentuk tunai, domba, serta tanah kepada ayah Parwana, Abdul Malik.

Saat itu, Parwana dengan tubuhnya yang kecil ditutupi penutup kepala hitam dan kalung bunga di lehernya.

Dia menyembunyikan wajahnya dari keluarga dan Qorban.

Gadis kecil itu khawatir jika pria yang membelinya akan memukulinya dan memaksanya untuk bekerja.

Tetapi menurut Qorban, dia tak ingin menyebut pembeliannya atas Parwana sebagai pernikahan karena dia sudah memiliki istri.

Dia bersikeras akan menjaga Parwana seperti anaknya sendiri.

“(Parwana) murah, dan ayahnya sangat miskin dan dia membutuhkan uang,” katanya kepada CNN. 

“Dia akan bekerja di rumah saya. Saya tidak akan memukulinya.  Saya akan memperlakukannya seperti anggota keluarga.  Saya akan bersikap baik.”

Di sisi lain, ketika menyerahkan Parwana, Abdul Malik menangis sambil berkata, “Ini pengantinmu.  Tolong jaga dia.  Anda bertanggung jawab untuknya sekarang, tolong jangan pukul dia.”

Qorban menyetujuinya dan meraih lengan Parwana, sebelum kemudian menuntunnya menuju pintu rumah untuk pergi.

Parwana sempat menolak, tetapi usahanya itu sia-sia karena dia langsung dimasukkan ke dalam mobil yang sudah menunggunya dan dibawa ke rumah barunya.

Sementara itu, keluarga Parwana mengaku tak punya pilihan lain.

Mereka menjadi satu di antara keluarga miskin yang terpaksa menjual anak perempuan mereka yang masih kecil untuk dinikahkan agar bisa bertahan hidup, saat Afghanistan semakin terjerumus ke dalam krisis kemanusiaan.

Baca juga: Bom Kembali Meledak di Masjid Syiah Afghanistan saat Salat Jumat, 15 Orang Tewas dan 31 Terluka

Meskipun merasa sedih atas kepergian Parwana, Abdul mengatakan dia tak punya kekuasaan atas apa yang akan terjadi pada putrinya.

“Orang tua itu mengatakan kepada saya, ‘Saya membayar untuk gadis itu.  Bukan urusanmu apa yang saya lakukan dengannya, itu urusan saya’,” ujar Abdul mengulang pernyataan Qorban.

Parwana dan keluarganya telah tinggal di kamp pengungsian Afghanistan di barat laut provinsi Badghis selama empat tahun terakhir.

Mereka bertahan hidup dengan bantuan kemanusiaan dan pekerjaan yang menghasilkan sekitar Rp 38 ribu sehari.

Tetapi, sejak Taliban mengambil alih Afghanistan pada Agustus lalu, ekonomi negara itu berada di ambang kehancuran dan bantuan kemanusiaan internasional telah ditahan.

Tak ayal, dampaknya sangat dirasakan oleh keluarga seperti Parwana yang tidak dapat membeli barang-barang kebutuhan pokok, terutama makanan.

Beberapa bulan lalu, Abdul Malik terpaksa menjual saudara perempuan Parwana yang berusia 12 bulan, untuk membantu keluarganya bertahan hidup.

“Kami adalah delapan anggota keluarga.  Saya harus menjual (mereka) untuk menjaga anggota keluarga lainnya tetap hidup,” katanya yang merasa tak punya pilihan lain.

Dia mengatakan bahwa uang yang didapatkannya dari hasil menjual Parwana, hanya akan menopang keluarganya selama beberapa bulan, sebelum mereka harus menemukan cara lain untuk mengumpulkan dana agar bisa bertahan hidup.

Parwana hanya satu di antara anak perempuan lain di Afghanistan yang juga dijual oleh keluarganya agar bisa bertahan hidup di tengah krisis.

Afghanistan sedang bergulat dengan krisis likuiditas karena aset tetap dibekukan di Amerika Serikat dan negara-negara lain, sementara pencairan bantuan dari organisasi internasional telah ditunda.

Efek dari keruntuhan ekonomi dapat terbukti mematikan bagi negara di mana sepertiga penduduknya bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari Rp 38 ribu per hari.

Itu berarti semakin banyak keluarga yang beralih ke praktik ilegal menjual anak-anak mereka di bawah usia 15 tahun.

“Hari demi hari, jumlah keluarga yang menjual anak-anak mereka meningkat,” kata seorang aktivis hak asasi manusia di Badghis, Mohammad Naiem Nazem, kepada CNN.

“Kurangnya makanan, kurangnya pekerjaan, (membuat) keluarga merasa mereka harus melakukan ini.”

Di sisi lain, Direktur Asosiasi Divisi Hak-hak Perempuan di Human Rights Watch, Heather Barr, menyebut apa yang terjadi di Afghanistan sebagai bencana besar.

“Kami tidak punya waktu berbulan-bulan atau berminggu-minggu untuk membendung keadaan darurat ini. Kami sudah dalam keadaan darurat,” katanya.

Keluarga Afghanistan Jual Bayi

Afghanistan dilanda krisis pangan terburuk hingga setengah penduduknya terancam kelaparan.

Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan, hampir satu juta anak berisiko alami kelaparan, terlebih lagi menjelang musim dingin.

Sejak penguasaan Taliban pada 15 Agustus lalu, perekonomian di Afghanistan semakin memburuk hingga keluarga miskin yang begitu putus asa, terdorong untuk menjual anak mereka.

Dilansir dari The Mirror, satu di antara keluarga di luar Kota Herat, menceritakan bagaimana mereka terpaksa menjual bayi perempuannya.

Mereka melepaskan bayinya untuk ditukar dengan uang senilai sekitar Rp 7 juta, kepada seorang pria yang tinggal di dekat rumahnya.

Menurut pengakuannya, pria tersebut mengklaim akan menikahkan bayi perempuan itu dengan putranya ketika sudah cukup umur.

Meskipun berat, tetapi orangtua bayi perempuan itu menyadari bahwa gadis mereka mungkin akan menghadapi masa depan yang jauh lebih buruk, jika tetap tinggal dengan mereka.

Di sisi lain, menikahi putra dari pria yang membelinya, dirasa akan lebih baik.

“Anak-anak saya yang lain sekarat karena kelaparan, jadi kami harus menjual putri saya,” kata sang ibu yang tidak disebutkan namanya kepada BBC.

Baca juga: Larangan Taliban Buat Harga Opium Melonjak, Pedagang di Afghanistan: Haram tapi Tak Ada Pilihan Lain

Sambil menangis, wanita tersebut mengaku begitu sedih, tetapi tak ada pilihan lain baginya saat ini.

“Bagaimana saya tidak sedih?  Dia adalah anak saya,” ujarnya.

“Saya berharap saya tidak harus menjual putri saya.”

Warga Afghanistan telah menghadapi krisis uang tunai sejak Taliban menguasai ibu kota Kabul pada 15 Agustus lalu dengan pemutusan akses oleh Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan bank sentral Amerika Serikat.

Bahkan sebelum mantan Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani meninggalkan negara itu dan Taliban mengambil alih, Afghanistan sudah menghadapi perlambatan ekonomi.

Hal itu diperburuk oleh pandemi global Covid-19 dan kekeringan berkepanjangan yang semakin menghancurkan ekonomi Afghanistan yang sangat bergantung pada sektor pertanian.

Lapangan pekerjaan semakin berkurang di negara tersebut, dengan penetapan berbagai aturan dan larangan oleh pemerintahan baru bentukan Taliban.

Wanita hanya boleh bekerja di sektor kesehatan dan pendidikan, sementara para pria juga kesulitan untuk mencari kerja.

Hal serupa juga dikeluhkan oleh keluarga yang terpaksa menjual anak perempuannya itu.

Satu-satunya pekerjaan sang suami hanya mengumpulkan sampah secara lokal.

Namun, pekerjaan itu pun sekarang tidak bisa menghasilkan uang.

“Kami kelaparan. Saat ini kami tidak memiliki tepung, tidak ada minyak di rumah.  Kami tidak punya apa-apa,” kata sang suami.

Pria yang membeli putrinya telah membayar setengah dari biaya yang dijanjikan.

Penyerahan bayi tersebut akan dilakukan setelah putri mereka lebih dewasa dan sudah bisa berjalan.

Saat itu, sisa uang pembayaran juga akan diserahkan kepada pihak keluarga.

“Putri saya tidak tahu seperti apa masa depannya,” tambah sang suami.

“Saya tidak tahu bagaimana perasaannya tentang itu, tetapi saya harus melakukannya.” (TribunWow.com/Alma Dyani P)

Berita terkait Konflik di Afghanistan lain

Tags:
AfghanistanJual AnakTalibanKrisis ekonomi
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved